Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan hidup semua orang. Everybody wants to be happy. Aristoteles bahkan menempatkannya sebagai tujuan utama dari keseluruhan sistem etika filsafatnya. Ia menyebutnya “Eudaimonia” – yang berarti kebahagiaan dalam bahasa Yunani, dimana filsuf itu mendefinisikan kebahagiaan sebagai “Sesuatu yang paling baik, paling mulia, dan paling menyenangkan di dunia”. Dan banyak orang yang berpendapat, bahwa mereka akan bahagia jika sudah sukses – dengan definisi sukses sesuai sudut pandang mereka masing-masing. Tapi yang jelas, dewasa ini sukses selalu identik dengan karir yang baik, status sosial yang baik, dan kemapanan ekonomi, setali tiga uang dengan kekayaan. Padahal, itu tidak betul. Kebahagiaan juga tidak berarti kita harus selalu tersenyum atau tertawa. Karena itu berarti kebahagiaan identik dengan kesenangan dan rasa senang. Padahal, kebahagiaan jauh lebih luas daripada itu.
Akan tetapi, banyak yang tidak menyadari bahwa kemampuan meraih kebahagiaan sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal ini terkait dengan kekuatan kepribadian dan kemampuan masing-masing dalam merespon dan bertahan hidup. Orang sukses dan orang gagal punya kesamaan, yaitu sama-sama mengalami berbagai kesulitan hidup. Perbedaannya terletak pada kecerdasan menghadapi dan merespons kesulitan hidup yang dijalaninya. Yang artinya, orang sukses lebih cerdas dari pada orang gagal dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Tidak cukup hanya dengan memiliki EQ dan atau IQ yang tinggi untuk mencapai kesuksesan.
Jika Anda pernah mendengar nama William James Sidis, kejeniusannya sesungguhnya tidak kurang dari Einstein, Edison, Mozart, Da Vinci dan lainnya. Sidis di usia 1 tahun 6 bulan sudah bisa membaca New York Times, pada usia 8 tahun sudah dapat menguasai 8 bahasa dan Ia juga menulis beberapa buku tentang anatomi dan astronomi. William James Sidis, tokoh jenius dengan IQ antara 250-300 dan memiliki banyak minat di berbagai bidang pengetahuan (kedokteran, matematika, astronomi, hukum, mesin, sipil, bahasa dll.) akhirnya meninggal di usia 46 tahun karena pendarahan di otak, sebelum banyak menyumbangkan ilmunya untuk umat manusia. mental Sidis tidak tahan atas perlakuan lingkungan terhadapnya dan Ia pun merasa lelah menjadi proyeksi dari ambisi sang ayah hingga ingin melepaskan diri dari bayang-bayang sang ayah.
Secara umum, kecerdasan dapat dipahami pada dua tingkat. Pertama, kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Kedua, kecerdasan sebagai sebuah kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh seseorang dapat segera dipecahkan (problem solved), dan dengan demikian pengetahuan pun menjadi bertambah (Fanani, 2005).
Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dipahami dengan mudah bahwa kecerdasan merupakan pemandu (guide) bagi individu untuk mencapai berbagai sasaran dalam hidup yang dijalaninya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu memilih strategi-strategi pencapaian sasaran yang jauh lebih baik daripada orang yang kurang cerdas. Artinya, orang cerdas sepantasnya lebih sukses dibanding orang yang kurang cerdas (Fanani, 2005).
Konsep tentang kecerdasan adversitas atau Adversity Quotient (AQ) dibangun berdasarkan hasil studi empirik. Kecerdasan adversitas memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan aplikasinya dalam dunia nyata. Konsep Adversity Quotient pertama kali digagas oleh Paul G. Stoltz. Stoltz dalam dua bukunya berjudul "Adversity Quotient” (2000) dan "Adversity Quotient at Work” (2003) secara komprehensif menjelaskan apa yang dimaksud kecerdasan menghadapi kesulitan dan bagaimana meningkatkan kecerdasan baru tersebut. Kecerdasan baru dimaksud berawal dari hasil penelitian yang dilakukan para ilmuwan kelas atas selama 19 tahun, mengkaji lebih dari 500 referensi dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yakni psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi, dan menerapkan hasil penelitian dan pengkajiannya selama 10 tahun di seluruh dunia dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa terdapat satu kecerdasan baru yang selama ini tidak terungkap dibutuhkan dan menentukan kesuksesan seseorang, yakni kecerdasan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient).
Menurut definisi Stoltz, Adversity Quotient adalah, “The capacity of the person to deal with the adversities of his life. As such, it is the science of human resilience”. Atau bila diterjemahkan, “Kemampuan seseorang untuk menghadapi tantangan kesengsaraan dalam hidupnya”. Adversity Quotient adalah bentuk kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. AQ juga dapat digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Dengan kata lain, AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang penuh tantangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Thomas J Stanley yang kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul "The Millionaire Mind" (2003) menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarganya. Adversity Quotient itu sendiri mempunyai tiga bentuk, yaitu:
-
Suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan
-
Suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan
-
Serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan
Berbeda dengan Stoltz, Mortel berpandangan bahwa makin besar harapan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka makin kuat pula tekadnya untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. Mortel mengemukakan bahwa kegagalan adalah suatu proses yang perlu dihargai. Mortel juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantar seseorang untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda.
Sedangkan Maxwell mengatakan bahwa ketekunan yang dimiliki oleh seseorang akan memberinya daya tahan. Daya tahan tersebut akan membuka kesempatan baginya untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Menurut Maxwell setidaknya ada tujuh kapasitas yang dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu:
-
Para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
-
Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi sifatnya
-
Para peraih prestasi memandang kegagalan-kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri
-
Para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis
-
Para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
-
Para peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi
-
Para peraih prestasi mudah bangkit kembali
Agar dapat bersaing dengan orang-orang, kita harus memiliki sebuah keterampilan lain yang membuat kita berbeda dari orang lain dan mungkin hal ini juga yang dapat menjadi ciri khas dari diri kita. Kemahiran kita dalam kesiapan menghadapi tantangan atau adversity quation adalah salah satu hal yang mendukung kita menjadi sukses. AQ berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan suatu hal dengan tantangannya. Jika seseorang yang memiliki AQ lebih tinggi maka dia cenderung tidak akan menyalahkan orang lain karena dia merasa bahwa kegagalan yang dia lakukan adalah bagian dari kesuksesan yang tertunda dan dia juga merasa bahwa dia siap untuk menghadapi tantangan yang akan ditemukan serta siap untuk menyelesaikan masalah yang akan dia hadapi.
Akan ada 3 tipe orang yang kita temui dalam berbagai kondisi, yaitu:
1. Quitters
Yaitu dianalogikan sebagai orang yang sekedarnya hanya bekerja dan hidup. Mereka tidak tahan pada serba-serbi yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan menarik diri di tengah jalan. Quitters adalah manusia yang sulit dan tidak senang perubahan, sehingga orang sering menyebutnya sebagai manusia pengecut atau lemah.
Tipe quitter memiliki ciri-ciri:
-
Memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti
-
Menghentikan “pendakian”
-
Menolak kesempatan yang telah diberikan
-
Meninggalkan dorongan inti untuk merdeka
-
Murung, sinis, mudah menyalahkan orang lain, banyak mengeluh
2. Campers
Walaupun memiliki keberanian menghadapi tantangan, Campers selalu mempertimbangkan resiko yang akan dihadapi. Campers tidak ngotot untuk menyelesaikan pekerjaan karena berpendapat sesuatu yang secara terukur akan mengalami resiko. Campers mau melakukan perubahan, tetapi jika menghadapi satu kesulitan dengan sangat mudah patah semangat dan berhenti layaknya orang yang sedang berkemah. Campers bahkan bersuka-ria menikmati jeda waktu istirahat tersebut, bersantai dan tidak berupaya untuk mengatasi kesulitan yang sedang mereka hadapi.
Campers memiliki ciri-ciri:
-
Sudah melakukan sedikit lalu berhenti ditengah jalan
-
Melepaskan kesempatan untuk maju
-
Mudah puas dengan apa yang telah dicapai
3. Climbers
Yaitu golongan yang ulet dengan segala resiko yang mungkin akan muncul sehingga harus dia hadapi serta mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Manusia climber adalah manusia pendaki yang tidak mudah menyingkir berteduh karena panas, atau lapuk karena hujan. Sebagai manusia pendaki jika ia menemukan ada hambatan batu di atas gunung sana, ia mencari jalan lain. Baginya untuk sampai ke puncak gunung tidak hanya ada satu jalan. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan oleh Alexander Graham Bell, bahwa kalau satu pintu tertutup, lainnya terbuka. Tetapi kita sering memandang terlalu lama dan terlalu penuh penyesalan kepada pintu yang tertutup itu, sehingga kita tidak melihat pintu yang terbuka bagi kita.
Climbers memiliki ciri-ciri:
-
Memiliki pikiran terus tentang peluang
-
Tidak memikirkan suatu hal sebagai hambatan
-
Tidak menyesali kebelumberhasilan
-
Pembelajar seumur hidup
Dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Ini berarti, pribadi dengan AQ tinggi akan mampu mencari jalan keluar atau solusi dari masalahnya dengan berupaya memecahkan sumber masalahnya langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan menyalahkan orang lain. Ia akan tangguh berjuang menghadapi hidup dan menaklukkannya. Dalam proses itulah kebahagiaan diraih. Dengan menyikapi hidup sebagai arena perjuangan, pembelajaran, pertemanan dan berbagi tanpa henti, niscaya kebahagiaan hidup itu akan tampak realistis dan bisa dicapai segera tanpa perlu menunggu sukses atau kaya lebih dulu.