Productivity
Adversity Quotient (Bagian 3)
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Apr 25, 2018
Manusia adalah sosok yang rapuh ketika seorang diri, terlebih di saat menghadapi masalah. Setiap orang pasti pernah merasakan saat-saat ketika ia merasa benar-benar sendirian di tengah tekanan yang sangat berat. Salah satu penulis pernah mengalami masa-masa ketika tidak memiliki cukup uang untuk biaya kehidupan sehari-hari untuk bulan depan, tidak memiliki sahabat dekat, dan tidak memiliki mentor atau pelatih yang dapat membimbing saat berpindah pekerjaan. Jam demi jam yang penulis gunakan untuk bekerja terasa begitu lama, sunyi, dan menyesakkan dada. Keputusan untuk mengambil peluang berpindah perusahaan dengan salary yang lebih baik saat itu terasa kesalahan besar yang terburu-buru. Penulis sangat merindukan posisi lama di perusahaan terdahulu yang sudah begitu nyaman. Semangat juang penulis rasanya habis terkuras di satu minggu pertama.
Penelitian mengatakan bahwa orang-orang yang tidak memiliki kecerdasan dalam menghadapi tekanan (Adversity Quotient) yang baik akan sangat terhambat dalam mengoptimalkan hidup pribadi, relasi sosial, dan karirnya. Dalam bukunya berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities, Paul G Stoltz memerkenalkan bentuk kecerdasan yang disebut Adversity Quotient (AQ). Menurutnya, AQ adalah bentuk kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ dapat digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Dengan kata lain AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang penuh tantangan. Ada tiga kemungkinan yang terjadi yakni ada karyawan yang menjadi kampiun, mundur di tengah jalan, dan ada yang tidak mau menerima tantangan dalam menghadapi masalah rumit (tantangan) tersebut. Katakanlah dengan AQ dapat dianalisis seberapa jauh para karyawannya mampu mengubah tantangan menjadi peluang.
Stoltz bahkan mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki Adversity Quotient yang rendah dapat mengalami dampaknya pada:
-
Aspek kesehatan fisik,
-
Daya tahan tubuh terhadap penyakit-penyakit yang fatal,
-
Kemampuan untuk menyelesaikan tanggung jawab,
-
Kemampuan untuk memberikan respon yang tepat sesuai dengan situasi,
-
Kemampuan untuk menahan tekanan (stress) sehari-hari,
-
Semangat atau daya juang di kehidupan sehari-hari,
-
Kemampuan untuk tetap berharap,
-
Bahkan kesediaan untuk tetap bertahan hidup.
Beberapa hal yang cenderung menghalangi seseorang mengembangkan Adversity Quotient yang baik:
-
Kecenderungan multi fokus
Tekanan akan cenderung menghasilkan kekhawatiran, dan kekawatiran cenderung akan mempengaruhi otak kanan untuk bekerja dengan liar. Orang-orang yang terlalu dikuasai kekhawatiran biasanya merasa dapat melihat terlalu banyak hal mengkhawatirkan yang datang atau harus diselesaikan pada saat bersamaan. Ketika diancam oleh tekanan-tekanan yang berat, mereka tidak berusaha untuk menenangkan perasaan dan memfokuskan pikiran untuk memprioritaskan tantangan dan ancaman yang dapat mereka kerjakan atau selesaikan terlebih dahulu. Akibatnya mereka menjadi makin panik dan makin tenggelam kekhawatiran.
-
Kecenderungan menyalahkan pihak luar
Tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan harapan dan keinginan kita. Pada kenyataannya, jarang sekali terdapat barang, orang, maupun situasi di dalam hidup ini yang dapat berjalan benar-benar sesuai dengan kemauan kita. Walaupun demikian ketidaksesuaian hal-hal tersebut dengan standar kita, tidak dapat membenarkan perilaku kita yang kemudian hanya mengeluh dan tidak melakukan hal-hal yang konstruktif lainnya. Tidak peduli seberapa buruknya kualitas barang, perilaku orang lain, dan situasi yang Anda alami, akan tetap ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan, dan itulah tanggung jawab Anda. Kecenderungan untuk hanya mengkritik, mengeluh, meratap, serta tidak memfokuskan diri untuk melakukan hal-hal kecil yang dapat dilakukan, hanya akan membuat Anda makin tertekan.
-
Kecenderungan menunda hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan segera
Tekanan memiliki sifat akumulatif. Semakin lama Anda menunda-nunda menangani sebuah tekanan, maka ia akan mengendap, menumpuk, dan berkembang. Orang-orang yang cenderung suka menunda, sering kali merasa mendapati dirinya tiba-tiba dikepung oleh ribuan ancaman yang ia rasa dapat sangat membahayakan bagi masa depannya. Ironisnya, ketika orang-orang yang suka menunda ini merasa dikepung oleh ancaman yang sangat besar ini, mereka cenderung memutuskan untuk kembali diam dan “menyerahkannya pada nasib” atau “waktu”. Hampir tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan jika berusaha dikerjakan tanpa kepanikan. Penundaan hanya akan menciptakan bom waktu kepanikan dan malapetaka di masa depan.
-
Kecenderungan tidak sabar
Kesabaran adalah elemen yang sangat krusial dalam ketahanan menghadapi tekanan karena tidak semua ancaman dan tantangan dapat diselesaikan dengan instan. Orang-orang yang cenderung tidak sabar akan cenderung kuat ketika menghadapi masalah dalam jangku pendek. Akan tetapi mereka cenderung rapuh ketika menghadapi masalah dalam jangka waktu yang panjang. Mereka seolah-olah mendengar suara sumbang terus menerus di dalam kepalanya, yang mengatakan bahwa jika ia tidak dapat mengatasi masalah dengan segera, maka ia adalah seorang pecundang. Bahwa hidupnya dipenuhi dengan kegagalan. Keberhasilan apapun yang dimiliki di masa lalu adalah keberuntungan semata. Perkataan-perkataan itu biasanya dapat begitu merasuk ke dalam pikiran mereka, sehingga mereka cenderung bertindak nekat dan atau gegabah. Pada akhirnya kenekatan mereka akan memperbesar masalah yang ada, dan bukan menyelesaikannya. Ini dapat berarti juga makin memperpanjang masalah.
AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. Dalam dunia kerja, karyawan yang ber-AQ semakin tinggi dicirikan oleh semakin meningkatnya kapasitas, produktivitas, dan inovasinya dengan moral yang lebih tinggi. Sebagai ilmu maka AQ dapat ditelaah dari tiga sisi yakni dari teori, keterukuran, dan metode.
Secara teori, AQ menjelaskan mengapa beberapa orang lebih ulet ketimbang yang lain. Dengan kata lain apa, mengapa dan bagaimana mereka berkembang dengan baik walaupun dalam keadaan yang serba sulit. Dalam konteks pengukuran, AQ bisa digunakan untuk menentukan atau menseleksi para pelamar dan juga untuk mengembangkan daya kegigihan karyawan. Sebagai metode, AQ dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja, kesehatan, inovasi, akuntabilitas, focus, dan keefektifitasan karyawan. Karyawan yang memiliki karakter yang tepat akan dapat bertahan seperti sebuah bambu di tengah tekanan.