Kata-kata : impian, dream, mimpi... menyentil saya kembali, saat saya sampai di halaman 32 buku rekam jejak Michael D. Ruslim, yang bertajuk “Lead By Heart”. Pak Michael mempunyai mimpi atas perusahaan yang dikelolanya. Mimpi yang membuat perusahaan bergerak, atau lebih tepatnya : dia gerakkan. Begitulah yang diungkapkan penulis buku tersebut.
Memang, bahkan belum 10% buku yang menginspirasi tersebut selesai saya baca, namun membuat saya berhenti di sebuah perenungan. Bagi saya, impian, bukanlah kata yang asing dan langka. Dalam kehidupan, saya pernah, sedang dan akan selalu merancang impian. Karena impian bagi saya seperti sorak cheerleader yang memacu semangat mengarungi pertandingan hidup. Impian, layaknya energi yang membuat saya terus bergairah dan penuh semangat. Impian, tak bedanya pupuk yang membuat saya terus bertumbuh.
Saya mempunyai impian selepas kuliah untuk bekerja di kota besar, Jakarta, dan di sinilah sekarang saya berada. Saya mempunyai impian mengajar dan berbagi ilmu bagi banyak orang, dan itulah profesi saya sekarang, seorang fasilitator. Setelah menikah saya mempunyai impian memiliki rumah sendiri, dan dalam usia 2 tahun pernikahan, kami menyudahi tinggal di kontrakan dan memulai kehidupan baru di rumah mungil hasil KPR dan kerja keras selama ini.
Sekalipun begitu banyak kisah mengenai
impian yang terwujudkan, bisa saya ceritakan, namun kenyataannya tidak serta merta ketika kita menetapkan sebuah mimpi, sudah pasti akan digenapi. Impian bukan mantra yang jika diucapkan maka langsung terpenuhi. Impian juga bukan proposal yang setelah diajukan, dan disetujui maka tinggal realisasi.
Menetapkan, menuliskan, atau bahkan beberapa orang mulai menggambarkan impian, sebenarnya hanya langkah pertama terwujudnya sebuah impian itu sendiri. Langkah pertama yang tidak akan berakhir jika tidak dilanjutkan dengan langkah-langkah berikutnya. Langkah pertama yang adalah kemajuan, menurut saya, dibandingkan tidak melangkah sama sekali. Dengan kata lain, memiliki impian jauh lebih baik dibandingkan tidak memilikinya sama sekali. Mengapa?
Karena dengan adanya impian, kita akan mengarahkan setiap aktifitas, effort, investasi dan
waktu kita untuk menuju apa yang kita inginkan. Tanpa impian, langkah kita hanya akan kesana – kemari tanpa arti dan tanpa tahu akan menuju kemana. Dengan impian kita mengendalikan diri kita dan memusatkan perhatian ke arah yang kita tuju. Tanpa impian, kita akan dikendalikan oleh sekitar kita menuju apa yang mereka mau, bukan kemauan kita.
Sebagai gambarannya, saya akan ambil contoh dari salah satu impian yang berhasil saya capai. Saya memimpikan memiliki sebuah rumah sendiri setelah menikah, karena kami (saya dan suami) sama-sama perantauan, yang jauh dari orang tua, dan selama ini tinggal di kamar kost atau rumah kontrakan. Tujuan kami jelas, memiliki rumah supaya tidak lagi menjadi kontraktor, alias tukang ngontrak (rumah). Dengan tujuan dan impian yang jelas tersebut, setelah menikah kami sama sekali tidak memiliki keinginan memiliki mobil, sekalipun rasanya mobil adalah hal lumrah dan mungkin sudah menjadi kebutuhan hidup di ibukota ini. Kami pun tidak berniat menghabiskan uang tabungan kami untuk belibur ke luar negeri, padahal postingan teman di media sosial membuat kami seringkali menelan ludah ketika mereka membagikan foto-foto bulan madu di negeri orang. Dan bahkan untuk membeli baju-baju mahal yang mungkin masih sanggup terbeli dari tabungan kami, itupun enggan kami lakukan.
Ada banyak keinginan dan godaan yang mengiming-imingi kami, tatkala kami harus menahan diri demi terkumpulnya saldo yang cukup untuk DP sebuah rumah. Jika kala itu kami tidak bermimpi memiliki rumah, maka iming-iming itu bisa saja memerangkap kami dalam kehidupan mengontrak tiada henti. Impian membuat kami kuat menahan godaan, fokus meraih tujuan, dan akhirnya impian itulah yang membawa kami menikmati rumah kami sendiri.
Menetapkan sebuah impian membantu kita mengatasi tantangan, godaan, iming-iming, hambatan yang merusak fokus dan membuat hidup kita tak terarah. Inilah yang nampaknya membuat orang-orang yang memiliki impian
mencapai kesuksesan (meraih mimpi) lebih cepat dibandingkan yang tidak memilikinya.
Sayangnya, banyak orang, termasuk saya, hanya memiliki impian untuk kehidupan pribadinya. Orang-orang, termasuk saya, sudah menetapkan bahkan telah berhasil meraih mimpi dalam kehidupan pribadi dan keluarga, tapi tidak menerapkannya di kehidupan kantor, atau organisasi.
Itulah mengapa, saya tersentil oleh seorang leader hebat sekelas Michael D. Ruslim, yang mempunyai impian untuk perusahaan yang dipimpinnya. Impian itulah yang membuatnya konsisten dan persisten bahkan saat menghadapi amukan badai dan gelombang bisnis, sindiran dan cemoohan, bahkan impian juga yang mampu membuatnya tetap optimis, mengacuhkan rasa minder dan tidak percaya diri yang mungkin saja muncul ketika menemui permasalahan hebat.
Saya, memang tidak ada apa-apanya dengan sosok Michael D. Ruslim. Mengenalnya saja tidak, menyerupai kharismanya apalagi. Saya hanya
seorang leader bagi team saya, leader yang selama ini belum memiliki dream hingga membaca sebagian kecil kisah leader hebat yang dikagumi banyak orang itu.
Sentilan ini cukup mengena, bahkan menohok saya. Bagaimana bisa saya tidak memiliki dream untuk team saya. Saya, memang mengusahakan yang terbaik, selalu berupaya mencapai hasil terbaik dari yang bisa dilakukan oleh team saya. Bahkan mungkin saya, berhasil melalui tantangan-tantangan bersama team dan tetap bertahan. Namun itu tidak membuat saya menjadi leader yang lengkap jika saya tidak memiliki dream, impian, bagi team saya.
Seorang leader yang baik bukanlah leader yang hanya mampu membawa teamnya mencapai target yang ditetapkan perusahaan. Seorang leader bukan hanya orang yang berhasil menangani keluhan dari klien. Seorang leader belum bisa dikatakan berhasil hanya dengan membawa team nya menjadi “the best team” of the year, namun tidak memiliki mimpi bagi teamnya.
Jika mimpi adalah sorak penyemangat, maka leader bisa menggunakan mimpi untuk memompa semangat teamnya. Jika mimpi adalah energi, maka leader membutuhkannya untuk menghidupkan teamnya. Jika mimpi adalah pupuk, maka leader memerlukannya untuk pertumbuhan teamnya.
Leader perlu memiliki mimpi, bukan hanya mimpi dirinya sendiri tetapi mimpi keseluruhan team. Akan menjadi team seperti apa nantinya, team ideal seperti apa yang diinginkannya, team yang bagaimana yang diharapkannya. Impian itu harus terdefinisi dengan jelas.
Impian itu yang akan membuat setiap leader memacu team nya lebih kencang, karena team yang memiliki impian akan fokus dan konsisten di jalannya. Akan mampu mengarungi tantangan bisnis yang mungkin saja melemahkan semangatnya. Team yang memiliki impian tahu apa yang dituju, dan tidak tergoda berlama-lama berada di area yang tidak menumbuhkannya.
Team yang memiliki impian tidak akan terbentuk jika leadernya belum terbayang dream apa yang ingin dicapainya. Bagaimana dengan Anda, para leader, sudahkah Anda menetapkan impian Anda? Jangan lupa membagikannya ke seluruh team Anda, karena dream yang Anda susun itu bukan hanya dream Anda pribadi, tetapi juga dream keseluruhan team. Seluruh team yang akan mengusahakannya, bukan hanya Anda. Selamat menetapkan dan meraih mimpi!!