Pernahkah kita memperhatikan seorang bayi yang sedang belajar berdiri dan berjalan? Berapa kali dia harus melewati proses jatuh, menangis, berdiri lagi, dan kemudian jatuh lagi? Ya, berulangkali. Mengapa sampai berulangkali? Bukankah ketika jatuh dan menangis, anak itu merasakan kesakitan?
Naluri bayi yang bertumbuh adalah terus mencoba dan mencoba. Tidak cukup sekali jatuh, terpentok, terjerembab, dan mungkin terluka. Tapi saya belum pernah melihat seorang bayi yang berhenti mencoba (jika bukan karena sakit/kelainan) untuk berdiri kembali. Bahkan, orangtua bayi pun belum pernah saya temui ada yang melarang anaknya mencoba berdiri demi alasan kekhawatiran jatuh kembali.
Setiap proses menuju ke arah yang lebih baik, seringkali diikuti dengan tahapan-tahapan yang tidak menyenangkan. Untuk bisa berdiri, berjalan dan berlari dengan lihai, seorang bayi harus melalui tahap jatuh, sakit, menangis. Untuk naik kelas, seorang murid harus melewati ujian, proses belajar semalam-malaman, mengerjakan berbagai macam tugas. Untuk bisa menikmati cantiknya sunrise di puncak gunung, seorang pendaki harus melalui bukit, bertemu berbagai binatang liar, bahkan mendaki terjalnya tebing. Semua kepuasan dan keberhasilan ada harga yang harus dibayar.
Hanya saja, tidak semua orang sanggup dan mau melalui masa-masa sulit itu. Mari kita lihat beberapa respon yang biasa terjadi ketika kita menghadapi masalah, hambatan dan tantangan.
Respon pertama, biasa disebut dengan istilah quitter. Jika dianalogikan dalam perjalanan mendaki sebuah gunung, quitter ini adalah orang-orang yang belum juga sampai di bukit namun sudah menyerah. Dia tahu kalau di atas gunung lebih indah, namun ketakutannya akan kegagalan dan kseulitan membuatnya berhenti, tidak melanjutkan perjalanannya dan hanya memandangi orang-orang lain yang akhirnya berhasil meraih tingkatan yang lebih tinggi.
Seorang quitter biasanya tidak memperoleh banyak pencapaian. Jangankan pancapaian, pangalaman baru pun mungkin langka, karena ketika dihadapkan suatu tugas yang lebih menantang, hambatan dalam pekerjaan, project baru yang penuh risiko, kecenderungan seorang quitter adalah berhenti, menyerah, dan tidak meneruskan perjuangannya. Quitter biasanya hanya akan bermain di “area aman” bagi mereka, menghindari risiko, area yang sudah pasti dan rutin dijalani, dan ujungnya tidak banyak bergerak dan mencapai kemajuan. Dia hanya akan berkutat disitu-situ saja.
Di atas seorang quitter, ada istilah camper. Ini adalah orang-orang yang berani selangkah lebih maju dibanding quitter. Namun sebelum mencapai puncak sudah memutuskan untuk berhenti, merasa cukup, dan pada akhirnya tidak mencapai hasil maksimal yang seharusnya bisa diraihnya. Ketika menghadapi sesuatu yang baru atau tantangan dan masalah dalam perjalanannya, jika merasa cukup yakin bisa mengatasinya maka seorang camper baru berani melangkah. Namun ketika tantangan dan hambatan yang dirasanya cukup sulit, terlalu berat, dan besar kemungkinan gagalnya, seorang camper cenderung merasa cukup puas dengan posisinya saat itu. Baginya, “ah.. ini sudah cukup bagi saya, mari dinikmati saja, tidak perlu terlalu ngoyo..”
Dalam dunia bisnis dan professional, seorang camper mungkin telah mengalami pencapaian-pencapaian tertentu, namun bisa diyakini itu sebenarnya bukan titik maksimal yang seharusnya bisa diraihnya. Sungguh sayang jika seorang yang berpotensi menjadi pimpinan sebuah unit bisnis namun karena tidak berani menerima tantangan dan tanggung jawab lebih akhirnya hanya cukup puas dengan posisi supervisor.
Nah, selain quitter dan camper, dalam tingkatan ketangguhan menghadapi tantangan dan rintangan, kita mengenal juga istilah climber. Seperti kita tahu, seorang pendaki gunung tidak akan berhenti melakukan perjalanannya menuju ke puncak, sekalipun dia sadar dan sangat mengerti tiap risiko yang harus dihadapinya. Jatuh, tergores batu tajam, bertemu binatang liar, menghadapi cuaca buruk dan kabut, adalah hal yang pasti diketahui oleh seorang climber akan menghadang perjalanannya menuju ke tingkat lebih tinggi. Namun hal itu tidak membuat climber berhenti, menyerah apalagi mundur. Setidaknya ia pasti akan mencoba dengan berbagai daya upaya untuk mencapai goal nya.
Dunia bisnis saat ini tidaklah mudah. Tantangan dari internal team, ancaman dari competitor, dan perubahan yang cukup pesat dari dunia teknologi, mau tidak mau membutuhkan orang-orang climber untuk membawa kesuksesan perusahaan. Karyawan tipe climber relative lebih banyak dicari karena dari merekalah akan muncul terobosan-terobosan baru yang mempercepat laju kesuksesan perusahaan. Pun demikian dengan leader-leader climber, semakin diharapkan kehadiran dan kontribusinya dalam mendongkrak kesuksesan bisnis.
Bukan hanya di dunia bisnis dan professional, namun seperti bayi yang perlu bertumbuh, kehidupan kita pun akan terus bertumbuh, mau atau tidak, setuju atau menolak, dunia kita mengalami pertumbuhan itu. Kesulitan ekonomi, permasalahan keluarga, merosotnya moral bangsa, kejahatan yang merajalela, dan sederet tantangan lain yang tidak bisa kita hindari, membutuhkan jiwa seorang climber.
Pertanyaan besarnya adalah, sudah sejauh mana kita menumbuhkan dan memupuk jiwa climber itu dalam diri kita?
Climber tidak serta merta ada, climber bukan secara genetika bisa diturunkan, climber itu perlu latihan. Tidak serta merta seorang pendaki gunung lihai dan mampu mencapai puncaknya. Ia perlu mempersiapkan selengkap-lengkapnya alat yang nanti akan dibutuhkan, melatih otot-otot tubuhnya hingga siap saat nanti diperlukan, dan terlebih penting lagi adalah menimbulkan keyakinan dengan memperkuat mental.
Jiwa climber dalam kehidupan nyata perlu diperjuangkan dan dilatih setiap harinya. Mulailah dengan keberanian mengambil langkah-langkah baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Lakukan inovasi kecil yang berarti dan berkontribusi. Pikirkan tujuan besar namun mulailah langkah kecil Anda. Sekarang. Dan nikmati sensasi jatuh bangun yang membawa Anda semakin dekat ke cita-cita tertinggi Anda.