Saya masih ingat, ketika masih kecil, setiap kali liburan sekolah, saya diajak nenek untuk berlibur di rumah sepupu saya di Jakarta, waktu itu saya masih tinggal di Solo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Perjalanan semalam penuh. Ya, semalam penuh menggunakan bis ataupun kereta, membuat saya merasa Jakarta adalah jarak terjauh yang pernah ditempuh waktu itu. Saya bisa pamer ke teman-teman masa kecil saya setiap kali saya berlibur ke Jakarta, kota metropolitan paling canggih menurut saya.
Setelah dewasa dan menjadi perantau di kota ini, saya tidak lagi merasakan jarak Jakarta – Solo sejauh ingatan masa kecil saya. Bagaimana tidak, jangankan Jakarta – Solo, yang dulunya mungkin baru bisa saya nikmati setahun sekali. Sekarang ini, untuk mencapai kota-kota lain, sebut saja Surabaya, Denpasar, Manado, yang beberapa kali jaraknya dari Jakarta – Solo, bisa dengan mudah saya tempuh hanya dengan beberapa jam.
Kalau dulu, untuk mempersiapkan perjalanan semalam suntuk saya harus banyak istirahat, sehingga tidak mungkin dalam liburan singkat yang hanya beberapa hari saya berlibur di Jakarta. Sekarang, bahkan saya bisa saja meeting setengah hari di Surabaya, berangkat pagi, dan sorenya sudah sampai kembali ke Jakarta.
Dulu, waktu semalam suntuk, sekitar 12 jam, habis untuk perjalanan sekitar 570 km. Sekarang, bahkan dalam waktu yang sama, saya bisa berada di 3 pulau sekaligus, Bali (Denpasar) – Jawa (Jakarta) – Manado (Sulawesi).
Apa bedanya? Karena dulu saya menggunakan kereta api, dan sekarang saya menggunakan pesawat terbang yang sekian kali lebih cepat dibandingkan kereta api masa itu. Bergerak lebih cepat membuat waktu yang terbatas itu semakin produktif. Dalam jangka waktu yang sama, jika kecepatan lebih tinggi maka artinya akan lebih banyak result yang kita capai, lebih produktif.
Seperti rumus fisika kecepatan, v = s/t dengan v = velocity (kecepatan), s = distance (jarak), dan t = time (waktu), maka dalam waktu yang sama, semakin besar kecepatan kita, semakin besar pula jarak yang mampu ditempuh. Produktifitas kerja kita pun bisa kita ukur dengan rumus tersebut.
Kita tahu, waktu yang kita miliki dalam hidup ini sangat terbatas. Dalam sehari hanya 24 jam tersedia, 7 hari untuk satu minggu, dan semua orang memilikinya dengan jumlah yang sama. Dengan rumus kecepatan di atas, maka “t” yang saya miliki akan sama dengan “t” yang Anda miliki, terlepas dari seberapa lama nantinya hidup kita, kita hanya sebatas membicarakan tentang waktu yang sedang kita jalani saat ini.
Hal ini menjawab kenyataan, dan keanekaragaman hasil, pencapaian, dan
kesuksesan manusia yang satu bisa berbeda dengan manusia lainnya. Inilah mengapa ada seseorang yang masih sangat muda sudah memiliki usaha dengan omzet menggiurkan, sementara banyak orang-orang yang jauh di atas umurnya masih banyak yang belum memulai keberhasilannya. Padahal dalam sehari, waktu yang dimiliki baik oleh bos muda maupun pejuang tua tersebut sama, sama-sama 24 jam.
Orang muda tadi, dan banyak orang sukses lainnya, memahami dan menerapkan secara sadar maupun tidak, rumus fisika tentang kecepatan tersebut. Tidak peduli dengan waktu, karena waktu bukan variabel yang bisa kita ubah-ubah semau kita, namun konstanta yang sudah ditetapkan, akan terus sama. Maka sebaiknya kita berfokus pada v (kecepatan) supaya s (jarak tempuh) kita semakin besar.
Seorang leader, dengan waktu kerja yang standar 8 jam sehari, sama dengan waktu dia masih menjadi seorang staff. Namun, dengan load (beban) kerja yang bertambah, tidak hanya berpikir untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri saja, namun juga diharuskan memikirkan development team, planning, strategi, tanpa mengurangi main job kita sendiri. Kita harus mulai berpikir memanfaatkan teori rumus kecepatan di atas. Kita harus mulai memikirkan bagaimana caranya untuk lebih mempercepat proses kerja kita. Supaya dalam jangka waktu yang sama, pekerjaan yang kita selesaikan semakin banyak.
Atasan saya, sekaligus guru untuk banyak hal yang saya pelajari selama ini, pernah berkata, “yang terpenting adalah pengalaman, bukan penglamaan”. Ini sangat sejalan dengan konsep berpikir yang sedang kita bahas sekarang. Bukan seberapa lama waktu yang kita habiskan, namun, seberapa banyak pengalaman (atau pelajaran) yang bisa kita petik, yang bisa kita hasilkan. Untuk mendapatkan pengalaman, dan bukan terjebak pada penglamaan, kita perlu menambah kecepatan. Seorang leader perlu mempunyai kemampuan menambah kecepatan ini.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menambah kecepatan kerja kita?
1. Gunakan teknologi
Saya beralih dari masa kecil saya, yang menggunakan alat transportasi konvensional, ke era teknologi yang lebih baik, dengan menggunakan alat transportasi udara. Teknologi memotong waktu dan membuat segalanya lebih cepat dan mudah. Demikian juga dalam bekerja, teknologi akan mempermudah dan mempercepat kerja kita.
Gunakan internet untuk mencari tahu hal-hal yang belum kita kuasai, gunakan system untuk memotong alur kerja yang terlalu panjang dan lama, gunakan conference call untuk menyelenggarakan meeting-meeting koordinasi antar branch, dan masih banyak kemudahan yang bisa kita dapatkan dengan memanfaatkan teknologi. Jangan anti teknologi, tapi manfaatkan sebaik mungkin teknologi untuk mempercepat kerja kita.
2. Minimalkan “sampah waktu”
Sampah memang sudah seharusnya dibuang, bukan dinikmati. Namun, sampah waktu adalah godaan yang sangat menarik untuk dicicipi. Ini yang terkadang membuat kita terhambat mendapatkan kecepatan kerja yang lebih tinggi.
Dalam perjalanan saya ke Jakarta waktu saya kecil dulu, saya ingat betul, kereta yang saya tumpangi harus berhenti beberapa waktu lamanya di beberapa tempat. Memang jadwal kereta waktu itu mengharuskan penumpang untuk “menelan” sampah waktu tersebut. Waktu yang sia-sia berhenti di beberapa stasiun karena harus mengikuti jadwal lalu lintas kereta. Tidak ada jarak yang ditempuh namun waktu tetap berjalan. Ini salah satu dari beberapa sebab perjalanan menjadi begitu lama.
Berbeda dengan penerbangan yang tidak ada istilah “ngetem” dalam perjalanan di udara. Tidak mungkin pesawat berhenti di tengah perjalanan sebelum mencapai tujuannya. Pesawat meminimalkan sampah waktu, sehingga kita bisa sampai sesuai rencana, tanpa hambatan di tengah-tengahnya.
Dalam bekerja pun kita sering mendapati “sampah waktu” yaitu waktu yang terbuang, waktu yang terus berjalan, namun produktifitas nol, tidak ada hasil yang kita dapatkan. Sampah waktu pada saat bekerja bisa berasal dari diri kita sendiri (dengan sengaja membuka FB, twitter, social media lainnya, di tengah-tengah waktu produktif kita), atau dari luar (ajakan teman untuk hang out, kedatangan tamu yang tak dikenal, dan lain sebagainya).
Sampah waktu menghambat kerja kita, memperlambat dan cenderung mengganggu, jika kita tidak bisa tangani dengan baik, maka seperti kereta tadi, waktu terus bergulir, namun kita tidak menghasilkan apa-apa.
Belajarlah untuk meminimalkan “sampah waktu” tersebut dengan berani berkata tidak untuk
aktifitas tidak produktif yang tidak terjadwal, dan beri batas yang jelas kapan kita akan melayani interupsi dan kapan harus kembali fokus pada pekerjaan kita.
3. Kebiasaan vs jetlag
Anda pernah mengalami jetlag dalam perjalanan Anda? Menurut kamus medis, Mabuk pasca terbang, juga disebut Jet lag, secara medis disebut desinkronosis, adalah sebuah kondisi fisiologis yang terjadi akibat gangguan terhadap ritme sirkadian tubuh; hal ini dikelompokkan sebagai salah satu gangguan tidur ritme sirkadian. Mabuk pascaterbang muncul akibat perjalanan cepat lintas meridian (timur-barat atau barat-timur) jarak jauh, sebagaimana yang dilakukan menggunakan pesawat jet.
Namun istilah jetlag juga sering digunakan oleh banyak orang untuk kebingungan yang dialami ketika menemui hal-hal baru yang tidak biasa sehingga perlu waktu untuk beradaptasi menghadapinya.
Sebuah perubahan yang cepat dan drastis tentu membawa dampak dalam ritme kerja kita. Sedang mengerjakan A tiba-tiba harus berganti melakukan B, dan kemudian sebelum B selesai berlanjut ke C. Kita perlu waktu beradaptasi menghadapi hal-hal yang berubah, yang berbeda. Waktu adaptasi bisa saja berlangsung cepat atau lambat. Namun sudah bisa dipastikan mempengaruhi kecepatan kerja kita.
Salah satu cara menghadapi jetlag berkepanjangan dalam bekerja adalah dengan menciptakan ritme. Buatlah kebiasaan-kebiasaan tertentu yang membantu Anda menemukan ritme kerja. Misal, jika setiap pagi kita bisa datang lebih cepat setengah jam, lalu selama satu jam kita alokasikan waktu kita untuk mengerjakan sebuah project, dan itu kita lakukan setiap hari berturut-turut hingga terbentuk kebiasaan, maka kita akan mendapatkan kecepatan kerja yang semakin meningkat.
Tidak mustahil dengan terbentuknya ritme kerja, kita bisa bekerja lebih cepat dibandingkan jika kita harus berkali-kali mengubah alur kerja dari satu tugas ke tugas yang lain.
Hal ini juga dilakukan oleh pekerja-pekerja seni ternama. Anthony Trollope, seorang novelist, membiasakan dirinya bangun pagi pada pukul 05.30 untuk menulis, sebelum sarapan. Darren Rowse, seorang blogger professional, memperoleh inspirasi dan menulisnya pada sekitar pukul 10 hingga 12 siang setiap harinya.
Kebiasaan yang dibangun akan mempercepat proses kerja kita. Mengurangi jetlag. Dan pada akhirnya membuat waktu kita semakin efisien.
4. Enjoy
Bagaimanapun juga, energi positif adalah bahan bakar terbaik untuk memperoleh kecepatan maksimal. Nikmati setiap pekerjaan yang Anda lakukan. Berhentilah mengeluhkan setiap hambatan dan kekurangan, temukan solusi, lakukan yang terbaik, dan jaga semangat Anda, maka Anda akan menemui diri Anda bekerja lebih cepat dari yang Anda biasa lakukan dengan keluhan-keluhan itu.
Waktu tidak akan menunggu Anda. Waktu akan terus berjalan, tidak peduli jika Anda memperlambat, berhenti atau justru berlari. Pilihan ada di tangan kita. Jadi, Anda siap bekerja lebih produktif?