Saya selalu dibuat kagum dan takjub setiap kali melihat chef-chef kecil beraksi dalam Junior Master Chef. Mereka lihai bermain dengan berbagai macam peralatan dapur “berbahaya” seperti kompor, pemanggang, pisau tajam, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, mereka pun sanggup menghadirkan aneka macam menu masakan yang belum tentu orang dewasa seperti saya mampu sajikan. Mereka mengerti bagaimana memadu-padankan rasa, aroma, tingkat kematangan, hingga tercipta makanan yang sekelas restoran ternama. Ditambah lagi dengan gaya penyajian yang mewah, artistik, dan cantik. Jika hanya melihat hasil akhir yang disajikan di atas meja, pasti kita tidak akan mengira itu dihasilkan oleh tangan-tangan mungil yang masih berusia belasan bahkan mungkin kurang.
Kekaguman saya sangat masuk akal, terlebih karena saya tidak pernah membayangkan menjadi seperti mereka di usia yang masih sangat belia. Jangankan berkreasi dengan berbagai jenis makanan istimewa, sampai saya dewasa dan berumahtangga pun saya baru mengenal dan mampu memasak makanan biasa yang sederhana.
Dulu, ketika saya masih seusia para junior master chef itu, penguasa dapur di keluarga kami adalah nenek. Nenek yang setiap hari sibuk memikirkan menu apa hari ini, berbelanja di tukang sayur keliling, dan berkutat di dapur hingga menyajikan masakan untuk seisi rumah. Saya, dengan segenap rasa ingin tahu dan ingin mencoba seperti layaknya anak kecil, waktu itu, pernah sekali masuk ke dapur dan mencoba memegang, memainkan peralatan dapur, dan sebenarnya ingin membantu nenek yang sedang sibuk memasak. Namun, yang saya dapati adalah teriakan kencang dari nenek seraya mengusir saya keluar dari dapur. Dengan alasan, “berbahaya, nanti bukannya membantu kamu malah akan mengganggu.. Sudah, sana, bermain di luar saja.”
Sebagai anak kecil, yang tertanam di pikiran saya, dapur bukanlah tempat yang tepat untuk saya. Saya akan lebih baik jika berada di luar dapur. Hingga dewasa, saya memang tidak terlalu bersahabat dengan dapur. Tidak bisa membedakan mana lengkuas dan jahe, merica dan ketumbar. Tidak tahu beberapa istilah dapur sederhana, seperti ebi (udang kering), sambal mantah, sangrai, dll. Berbeda jauh bila dibandingkan dengan anak-anak dalam junior master chef tadi.
Apa yang membedakannya?
Junior master chef, menjadi ahli karena menjadikan dapur sebagai dunianya, berani mencoba hal-hal baru yang belum pernah dilakukannya, dan yang jelas, berkesempatan melakukan berbagai eksperimen kegiatan dapur. Ini yang tidak saya miliki sewaktu saya seusia mereka : kesempatan mencoba.
Banyak orangtua yang terlalu takut mengijinkan anak-anak mereka memegang pisau dapur, berdekatan dengan minyak panas dalam wajan, apalagi terlibat dalam segala macam aktifitas dapur yang sepertinya hanya cocok untuk orang dewasa. Itulah yang mungkin dirasakan oleh nenek saya. Ketakutan akan bahaya yang mungkin saya timbulkan dan mengancam keamanan saya, membuat nenek saya dan banyak orangtua lainnya memilih untuk melarang anak-anaknya mencoba apalagi menggali kemampuan memasaknya. Atas alasan demi kebaikan, banyak orangtua menutup kesempatan dan mungkin bakat anak di dapur.
Takut akan kegagalan, takut akan risiko yang lebih besar, takut akan banyak hal, juga dialami oleh
para leader. Dalam organisasi, ketakutan ini akan menutup kesempatan anggota team untuk berkembang menjadi lebih baik. Leader yang khawatir project nya akan gagal jika ditangani oleh salah satu anak buahnya cenderung memilih untuk mengerjakan sendiri project tersebut, dan sebisa mungkin hanya memberikan pekerjaan-pekerjaan ringan yang tidak berisiko kepada anak buahnya. Leader yang meragukan kemampuan anak buahnya, biasanya lebih suka membuat dirinya lebih sibuk, dan lebih banyak bekerja dengan alasan demi kepentingan tim, daripada harus menghadapi risiko yang lebih besar, dan sebagainya.
Adalah wajar jika kita menginginkan yang terbaik bagi tim kita, keberhasilan gemilang yang diraih tim kita. Sama wajarnya dengan nenek saya, atau orangtua lainnya, yang menginginkan masakan berhasil disajikan tanpa gangguan yang mungkin bisa dibuat jika ada anak-anak ikut terlibat di dalamnya.
Hanya, yang perlu kita sadari adalah, benarkah kita hanya menginginkan kebaikan, keberhasilan jangka pendek seperti sebuah project yang berjalan mulus, atau masakan sehari-hari yang tersaji tepat waktu. Namun, mematikan kesempatan bagi berkembangnya potensi anak (atau anggota team kita) yang mungkin bisa jauh lebih hebat dari yang bisa kita bayangkan?
Melibatkan anggota team berarti kita membuka kesempatan mereka terlibat,
belajar, berkembang, hingga akhirnya mampu melesat menuju tahap yang lebih baik dalam performa kerja mereka. Sama seperti para junior masterchef yang keberhasilannya diawali dari keberanian para orangtua melibatkan mereka dalam aktifitas dapur.
Keterlibatan anggota tim dalam sebuah project ataupun tanggung jawab memang tidak mudah, dan seringkali juga tidak murah. Dibutuhkan rasa percaya, keberanian, dan pendampingan dengan arah yang jelas dari leader untuk mendapatkan development melalui proses ini. Namun, semua itu akan terbayar, tatkala kita melihat hasil akhir, performa tim yang meningkat, kemampuan dan keterampilan anggota tim yang semakin baik, dan yang tak kalah penting namun sering kita anggap sepele sebenarnya adalah, waktu.
Ya, bagi seorang leader, kita tahu bahwa waktu adalah komponen penting yang sangat terbatas. Kita mengusahakan banyak macam cara supaya dengan waktu yang kita miliki segala tanggungjawab dan pekerjaan kita terselesaikan dengan baik. Kita terkadang lupa bahwa kita pun bisa menghemat banyak waktu dengan mengijinkan keterlibatan tim dalam pekerjaan yang kita hadapi, dengan cara DELEGASI.
Meskipun bukan satu-satunya keuntungan dan manfaat, delegasi identik dengan cara untuk membuat kita mempunyai waktu lebih untuk mengerjakan tumpukan pekerjan lainnya. Jika ini satu-satunya motivasi kita melakukan delegasi, maka kita akan kehilangan banyak keuntungan dan manfaat lainnya. Kita justru sedang membatasi diri kita meraih banyak hal yang bisa dihasilkan dengan delegasi.
Apa saja manfaatnya?
Bagi kita, para leader, jelas, delegasi mengurangi beban kerja dan tingkat stres, sehingga kita bisa punya banyak waktu untuk fokus ke hal-hal penting.
Namun ternyata bukan hanya bagi kita, justru bagi anggota team kita, akan lebih banyak lagi manfaat yang bisa diperoleh, antara lain :
-
Menciptakan kepercayaan team
-
Memberikan kesempatan berkontribusi dan membuat keputusan
-
Menumbuhkan rasa percaya diri dan motivasi anggota team
-
Anggota team merasa dibutuhkan sehingga tercipta rasa memiliki
-
Mendorong kemandirian, inisiatif, dan kreatifitas
Yang pada akhirnya menciptakan anggota-anggota tim dengan kinerja yang lebih baik, keterampilan yang meningkat, dan pastinya akan mendukung kesuksesan tim kita. Itu semua dimulai dengan melibatkan mereka, melakukan delegasi yang efektif.
Jadi, kita kita selama ini masih terkurung pikiran sempit bahwa delegasi hanyalah untuk kepentingan dan keegoisan leader semata, sebaiknya kita berkaca dari
kesuksesan para junior master chef yang dimulai dari delegasi dan keterlibatan mereka dalam pekerjaan orangtua mereka di dapur.
Mulailah melibatkan anggota tim kita, mulailah melakukan delegasi sehat yang disertai pendampingan, mulailah mempercayakan beberapa tugas kita, dan mulailah untuk menikmati waktu lebih kita sebagai bonus, sehingga kita bisa lebih fokus mengerjakan hal-hal lainnya. Mulailah dengan berani melakukan delegasi.