Leadership
Biografi Thomas Alva Edison
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 14, 2019
Anda mungkin pernah mendengar atau membaca biografi tentang ibu dari Thomas Alva Edison – sang penemu bola pijar, yang viral di berbagai sosial media. Dalam biografi tersebut, diceritakan bahwa sang ibu menutupi isi surat dari guru Edison, yang mengatakan “Putra Anda seorang anak yang bodoh. Kami tidak mengizinkan anak Anda bersekolah lagi.”. Sang ibu justru membacakan keras-keras, “Putra anda seorang jenius. Sekolah ini terlalu kecil untuk menampungnya dan tidak memiliki guru yang cakap untuk mendidiknya. Agar anda mendidiknya sendiri.”. Dan kita semua tahu bagaimana akhirnya Edison tumbuh menjadi penemu tersohor dan mendirikan General Electric, yang hingga kini masih menjadi perusahaan listrik terbesar di dunia.
Jauh setelah ibunya wafat dan Edison telah menjadi penemu ternama, dia melihat-lihat barang lama keluarga dan menemukan surat dari gurunya tersebut. Dia membuk dan membaca isinya, lalu menangis berjam-jam setelah itu dan kemudian menuliskan di diarynya: “Thomas Alva Edison, adalah anak bodoh yang, karena seorang Ibu yang luar biasa, mampu menjadi seorang jenius pada abad kehidupannya.”
Biografi ini terdengar luar biasa, terutama karena beredar gencar di momen jelang Hari Ibu. Kenyataannya, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi terkait biografi tersebut. Dikutip dari situs truthorfiction.com, Edison memang menderita disleksia, yang membuatnya sulit untuk berhasil di kelas umum pada tahun 1800-an. Dan salah satu guru Edison dilaporkan menggambarkannya sebagai "busuk (addled)" atau tidak berguna. Tetapi klaim utama bahwa ibu Edison menyembunyikan fakta itu dari Edison, tidak akurat. Mengetahui anaknya dikeluarkan dari sekolah karena dinilai sangat bodoh, ibu Edison, Nancy Mathews, mendatangi Reverend Engle – guru sekolah Edison, keesokan harinya untuk membicarakan masalah tersebut. Namun, sang ibu justru menjadi sangat kesal karena sikap gurunya dan bertekad untuk mendidik anaknya sendiri.
Edison yang terbiasa belajar dengan banyak bertanya kepada ibunya tidak bisa mengikuti gaya mengajar gurunya yang mengharuskan siswa duduk diam, memperhatikan penjelasan guru, menghapal dan mengulanginya keras-keras. Rasa ingin tahunya yang tinggi membuat Edison sering bertanya kepada gurunya tentang hal-hal yang terlintas dalam benaknya, di luar dari pelajaran yang sedang diterangkan. Jika pelajaran di kelas terasa membosankan, Edison memilih untuk mencoret-coret papan belajarnya, melamun, atau menatap keluar jendela. Karena tingkah lakunya, Edison sering dipermalukan gurunya di depan kelas dan dihukum pukul dengan ikat pinggang kulit.
Nancy Mathews yakin bahwa anaknya tidak sebodoh yang dicibirkan orang – walapun suaminya sendiri tidak sependapat. Ia meyakini bahwa anaknya memiliki potensi, walau memang sangat berbeda dari anak-anak lain umumnya saat itu. Langkah beraninya memberi home schooling pada Edison diakui sebagai yang paling berdampak pada keberhasilan Edison. Di kemudian hari, Edison berkata, “My mother was the making of me. She was so true, so sure of me: and I felt I had something to live for, someone I must not disappoint. (Ibu saya yang menjadikan saya. Dia begitu setia, begitu yakin pada saya: dan saya merasa memiliki suatu alasan hidup, seseorang yang tidak boleh saya kecewakan.)”.
Lebih dari seorang ibu, Nancy Mathews menunjukkan kualitas
pemimpin yang menginspirasi. Ia mengenali potensi, memiliki keyakinan akan apa yang bisa anaknya capai, dan dalam penuh ketekunan mengasahnya hingga menjadi berlian yang bersinar. Ia menjalankan perannya sebagai pemimpin. Ia membuat Edison merasa berbeda dalam cara yang berbeda, membuatnya merasa diterima, dan merasa tenang saat seisi dunia seolah membuangnya. Dan pada akhirnya ia membentuk seorang pemimpin, salah satu yang terbaik kalau boleh dibilang. Bagaimana ia menyentuh hidup anaknya, masih terus berdampak jauh setelah ia tiada. Itu adalah
peran seorang pemimpin yang mungkin bisa dibilang ada di tahap selanjutnya.
Bukan selalu tentang menjadi seseorang yang selalu lebih baik – dinilai memiliki lebih banyak pengetahuan atau ketrampilan, kepemimpinan juga tentang berdampak pada orang lain. Menjadikan orang lain lebih baik dengan kehadiran kita dalam hidup mereka, bahkan jauh setelah kita tidak lagi ada.
“Leadership is about making others better as a result of your presence and making sure that impact lasts in your absence.”