Happiness
Cara Bahagia? Ini Rahasianya
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 15, 2019
Sekitar dua tahun lalu, satu kisah inspiratif viral wara-wiri di berbagai media. Mulai dari media sosial, portal berita online, hingga group messenger. Kisah ini terjadi di Nairobi, Kenya. Mungkin Anda juga pernah membacanya. Tentang seorang bocah pengemis yang bertahan hidup dari rasa iba pengendara lewat yang ia temui sepanjang jalan.
Menurut insidereaders.com, John Thuo – si bocah pengemis, tinggal di jalanan di Nairobi. Setiap hari meminta belas kasihan pengendara agar memberikan receh untuk membeli makan. Tapi di hari itu, Thuo bukannya mendapat receh, malah menangis tersedu-sedu. Bermula saat ia mendekati mobil yang membawa Gladys Kamande untuk mengemis, ia malah lebih tertarik melihat penampilan Kamande yang “tak lazim”, dengan berbagai peralatan asing terhubung ke tubuhnya. Kamande mengalami masalah paru-paru, sehingga memerlukan bantuan alat untuk bernafas. Dia memang membawa mesin dan tabung oksigen ke mana pun, termasuk saat berada di mobil itu. Ia juga harus menjalani 12 operasi untuk permasalahan medis yang diderita. Dan celakanya, salah satu operasi merusak syaraf penglihatan, sehingga dia terancam buta.
Kisah itulah yang didengar Thuo saat bertanya tentang tampilan Kamande. Mendengar cerita itu, Thuo menangis meraung karena iba. Tangisnya semakin keras setelah Thuo sadar tak akan mampu menolong Kamande, hingga menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Thuo tak tega meminta uang dari Kamande dan keluarga di dalam mobil tersebut, dan sebaliknya malah menyerahkan uang hasil mengemisnya hari itu setelah mengajak Kamande berdoa untuk kesembuhannya. Thuo hanya berharap uang yang ia berikan dapat membantu biaya pengobatan Kamande. Sejumlah saksi mata memotret peristiwa mengharukan itu dan mengunggah fotonya ke media sosial. Netizen kemudian menggalang dana hingga 3 juta shilling atau setara 340 juta rupiah. Donasi bahkan mencapai 7 juta shilling saat Kamande perlu pengobatan lebih lanjut di India.
Berapa kali kita justru memberi, di saat kita sangat butuh menerima? Berapa sering kita bersyukur di tengah kesulitan hidup yang kita derita? Thuo selalu menyadari bahwa hidupnya keras dan penuh kesulitan. Tapi hatinya yang selalu bersyukur membuatnya tetap
merasa lebih beruntung dibandingkan orang lain. Ia masih menjadi jiwa pemurah yang mampu berbagi. Kita bisa belajar banyak dari sosok muda ini.
Menjadi bahagia tidak lah bersyarat. Sayangnya, kita yang sering kali menetapkan berbagai persyaratan untuk merasa bahagia. “Saya akan tenang jika sudah memiliki rumah sendiri... saya akan bahagia jika mampu jadi pemenang pertama... saya akan sangat bersyukur kalau pendapatan tahun ini mencapai target... hidup saya akan sempurna jika sudah berkeluarga... kebahagiaan saya lengkap dengan kehadiran anak...”. Hidup yang penuh dengan persyaratan. Syarat agar bahagia yang kita buat sendiri. Sementara banyak orang yang bahagia dengan apa yang ia terima. Berterima kasih atas nasi bungkus tumis kacang lauk tempe yang dibagikan seorang asing hari ini... berterima kasih atas kelebihan pembayaran empat ribu rupiah yang diberikan penumpang... bersyukur awan mendung menutupi terik matahari... “Hari ini makan nasi sayur lengkap dengan lauk... Pagi-pagi dapat rejeki untuk beli sarapan gorengan... Hari ini lebih adem, bisa kuat ngiderin dagangan sampai sore”. Sementara orang lain justru menggerutu, “Makan koq pakai tempe terus?! Pelit banget ni orang, cuma nambahin empat ribu padahal nganternya jauh... Haduuhh.. mendung lagi, baru juga nyuci mobil!”.
Begitu banyak alasan untuk
berbahagia dengan bersyukur, berterima kasih. Melihat beragam kelebihan dan keberuntungan yang masih kita miliki. Jika mengejar prestasi perlu melihat pada mereka yang berada di atas, maka selalu melihat ke bawah menjadikan kita orang yang pandai bersyukur dan tetap rendah hati.
"Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita dapat melihat bahwa bukan kebahagiaan yang membuat kita berterimakasih, namun rasa terima kasihlah yang membuat kita berbahagia."
–Albert Clarke-