Kami menemukan meme lucu yang diposting salah satu fanpage parodi saat membuka akun sosmed. Meme tersebut berupa gambar seorang bocah sedang menangis sambil menekan dada, dengan tulisan berbunyi, “Ngantongin duit tinggal selembar, taunya kantongnya bolong. Sakitnya tuh di sini”. Spontan tawa penulis meledak, melihat ekspresi si bocah dan tulisan kocak yang telak menghantam ingatan atas pengalaman yang sama. Miris waktu itu, lucu setelah diingat-ingat sekarang. Sejak pengalaman pedih itu, penulis selalu mengecek apakah celana yang penulis kenakan bolong kantongnya. Entah apakah Anda pernah mengalaminya, tetapi kehilangan uang karena kecerobohan sendiri (apalagi lembar terakhir yang dimiliki) memang cukup merusak mood. Bagaimana jika jumlah yang hilang mencapai sekian persen total pemasukan?
Meme kantong bolong tadi mengingatkan kami pada analogi The Leaky Bucket atau Ember Bocor. Analogi ini sering digunakan dalam konsep bisnis maupun marketing, dan dewasa ini berkembang ke konsep Customer Service. Dalam bisnis, The Leaky Bucket mengibaratkan bisnis dan pemasukan sebagai ember dan air (Experian, 2009). Bisnis apapun mempunyai potensi penurunan omset/pemasukan, seperti jumlah air di dalam ember yang bocor (berlubang) yang akan berkurang jika kebocoran bertambah banyak, bertambah besar, dan tidak segera ditambal. Penyebabnya lubang-lubang di ember bisa berasal dari internal dan eksternal.
Serupa dengan pendapat departemen Marketing, dimana air diumpamakan sebagai konsumen yang telah didapatkan, dan bisa saja hilang dikarenakan “kebocoran” dalam marketing, yaitu kelemahan dalam proses, produk, maupun pekerja. Dan tentu saja, kehilangan konsumen sama saja dengan kehilangan omset atau pemasukan. Karena penghasilan seorang marketer dihitung berdasarkan jumlah transaksi dari konsumen yang didapatkannya. 91% pelanggan yang tidak puas tidak mau melakukan bisnis dengan Anda lagi (Lee Resources). Sehingga ember yang bocor sama seperti kantong yang bolong, membuat Anda kehilangan uang.
Dan di sinilah peran Customer Service dinilai sangatlah penting.
Mengapa? Dalam konteks ini, seharusnya Customer Service dipandang sebagai perilaku, bukan suatu departemen yang muncul karena keluhan muncul. Karena departemen Marketing butuh berfokus mencapai target penjualannya, tanpa diinterupsi keluhan konsumen. Peran Customer Service selaku departemen adalah menambal lubang-lubang atau keluhan yang muncul dikarenakan kelemahan yang dirasakan konsumen terhadap produk, proses, atau pekerjanya. Berapa lebar atau berapa banyak lubang yang bisa ditambal, dilihat dari berapa banyak keluhan yang terselesaikan. Padahal tidak semua konsumen menyuarakan keluhannya. Jangan lupakan The Silent Customer yang meninggalkan kita tanpa memberi kesempatan memperbaiki apa yang salah di mata mereka. Menurut White House Office of Consumer Affairs, “For every customer who bothers to complain, 26 other customers remain silent”. Itu berarti 1 berbanding 26! Sehingga akhirnya tugas departemen Customer Service merambah ke analisa, penyusunan program reward bagi customer, dan program-program loyalitas, atau program Customer Retention lainnya.
Ada juga yang berpendapat bahwa Customer Service ibaratnya cat anti bocor yang membantu melapisi embernya. Mereka telah belajar dari pengalaman terdahulu. Sebelum terjadi kebocoran, perkuat ember dengan lapisan anti bocor, Customer Service. Dan pandangan ini mulai mengacu pada perilaku yang ditunjukkan oleh para frontliners. Perusahaan-perusahaan yang mulai menyadari arti penting perilaku Service Oriented pada frontliner nya mulai mengikutsertakan mereka ke beragam training Customer Service yang dinilai dapat membantu. Lalu membuat peraturan dan
SOP yang terkait pelayanan, dan menerapkan sistem punishment agar frontliner lebih taat menerapkan teori yang ia dapatkan dalam pelatihan. Apakah lalu menjamin kebocoran tidak akan terjadi? Tidak juga. Karena tanpa disadari, mereka hanya memberi teori, peraturan dan SOP, dan masih berorientasi pada target. Customer service adalah pelapis, bukan yang utama. Dan frontliner pun menerapkan teori-teori service yang ia miliki seirama dengan target yang dicapainya, pasang surut.
Lalu ada satu pendapat baru, yang memandang Customer Service sebagai The New Marketing. Customer service merupakan keseluruhan perilaku yang berorientasi pada konsumen, yang dimulai sejak awal proses perkenalan produk atau jasa, proses transaksi, bahkan hingga saat transaksi telah selesai. Perilaku service tidak berhenti saat konsumen selesai melakukan transaksi dengan pemberi layanan, tetapi berlanjut dalam program retention. Customer Service is an attitude, a culture. It’s also the heart of marketing. Without human-to-human engagement, you’re just another brand. Authentic communication is everyone's job.
Kami pribadi sangat setuju dengan pendapat terakhir ini. Customer Service adalah mata uang berharga yang selalu laku di setiap bisnis dan segmen. Dan sebagai mata uang, maka tentu memiliki dua sisi. Marketing adalah sisi pelengkap Customer Service. Saat kita melakukan service, maka hasil yang akan mengikuti adalah penjualan. Experience yang dirasakan customer saat menerima service akan “berbunyi” dan “menjual” produk dengan sendirinya. Sementara saat menjalankan proses marketing, hasil yang diinginkan hanya dapat tercapai dengan memberikan service sejak awal proses. Mc Kinsey ikut mendukung keterkaitan Service dan Marketing dengan menyatakan bahwa 70% pengalaman membeli berdasarkan bagaimana customer merasa diperlakukan. (HWI)