Customer Service
Efek Domino
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 13, 2019
Pernahkah Anda menonton video tentang Domino Effect? Apa itu efek domino? Efek domino adalah reaksi berantai atau sebuah efek kumulatif yang dihasilkan saat satu peristiwa menimbulkan serangkaian peristiwa lainnya. Efek berantai yang dihasilkan saat kita menjatuhkan satu kepingan ke atas kepingan lain yang disusun berbaris akan membentuk suatu gambar? Hasilnya benar-benar menakjubkan dan indah, terutama jika disusun menjadi bentuk yang rumit. Yang selalu saya kagumi adalah, betapa luar biasa effort sang seniman untuk merencanakan, memperhitungkan, hingga menyusun satu per satu kepingan kecil tersebut dengan jarak yang tepat. Effort untuk menciptakan sesuatu, yang pada akhirnya harus “dirusak”.
Hal yang menjadi sorotan saya selain dari effort sang seniman, adalah kenyataan bagaimana satu keping memiliki kekuatan untuk merubah kondisi kepingan lainnya, diteruskan hingga ke keping terakhir, hingga secara keseluruhan mereka membentuk gambaran hasil. Efek berantai ini mengingatkan saya pada Rantai Layanan, bagaimana kualitas kerja satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain. Dan ini kami yakini berlaku tidak hanya dalam pelaksanaan layanan, namun juga dalam hubungan antara internal tim pemberi layanan, hingga sampai ke konsumen.
Satu contoh tentang efek domino ini saya lihat saat bergabung dalam satu perusahaan otomotif ternama. Pekerjaan saya mengharuskan saya untuk banyak berinteraksi dengan
departemen sales, termasuk para salesnya. Ada banyak kisah yang mereka bagi saat mereka berinteraksi dengan para (calon) konsumen. Satu kisah yang sampai sekarang mengubah kebijakan perusahaan, adalah tentang pertanyaan – tepatnya komentar karena rasa ingin tahu –
calon konsumen. Pertanyaannya sederhana, yaitu mengapa si sales sendiri tidak menggunakan produk dari brand yang ia jual (sebutlah sebagai brand X). Si sales tertegun, kemudian menjawab bahwa ia membeli produk yang ia gunakan jauh sebelum bergabung di brand tempatnya kini bekerja, dan beralasan bahwa dana yang ia miliki saat itu belum cukup untuk mendapatkan produk brand X. Tentunya ditambahkan dengan kalimat bahwa ia saat itu sudah berniat untuk mengganti kendaraannya dengan brand X. Kisah ini menjadi perhatian khusus jajaran manajemen kala itu, hingga mengeluarkan peraturan tentang wajib pakai produk brand X, atau dilarang membawa produk selain brand X ke dalam area kantor dan untuk menemui konsumen. Jadi jika Anda tidak memiliki kendaraan brand X, silahkan berjuang setiap harinya untuk menemukan parkir di area sekitar kantor.
Mengapa pihak manajemen kala itu seolah berlebihan menanggapi kisah si sales? Menurut saya, kala itu mereka sudah menyadari arti penting karyawan menampilkan kecintaan terhadap perusahaan/brand. Secara tidak sadar, kita sering menunjukkan ketidak cintaan kita terhadap brand atau perusahaan yang kita wakili. Sekedar bekerja di sana untuk mencari penghidupan. Cara paling gampang mengenalinya adalah saat kita sendiri tidak menggunakan produknya. Dan bukan hanya Anda yang memperhatikan hal ini, namun juga (calon) konsumen Anda. Menjadi pertanyaan yang menggelitik konsumen, jika Anda menawarkan produk satu brand sementara Anda sendiri memakai brand berbeda. “Jika memang sebagus itu, kenapa Anda sendiri tidak pakai?”. Bukankah apa yang kita rasa atau yakini akan tertuang dalam perkataan dan perilaku kita?
Ciri lainnya adalah saat kita tidak serius
menjaga nama baik brand yang kita wakili. Misalnya, adalah dengan melakukan pekerjaan dengan sekedarnya, hingga hasilnya pun ala kadarnya. Kisah dari tenaga sales lainnya adalah saat menjawab pertanyaan konsumen tentang mengapa prosedur pembelian begitu panjang dan banyak berkas-nya, serta beberapa keberatan terkait peraturan lainnya. Jawaban yang umum mereka berikan adalah bahwa memang sudah begitulah peraturan perusahaan. Selebihnya, banyak yang kompak ikut mengamini sulitnya peraturan yang dibuat perusahaan – untung kalau tanpa keluhan.
Bukan kejutan jika konsumen kelak ikut memberi komentar tentang keberatan yang mereka rasakan. Diikuti komentar “Memang begitu...” dari mulut ke mulut. Melahirkan hubungan cinta setengah hati dari konsumen pada perusahaan dan brand yang diusung. Dan sedihnya, ini terjadi banyak tanpa disadari. Cinta setengah hati karyawan pada brand/perusahaannya, tertuang pada kalimat dan sikap mereka pada saat menghadapi konsumen. Meninggalkan kesan di mata konsumen, yang akhirnya ikut meyakini bahwa brand/perusahaan kita tidak layak untuk jadi urutan pertama untuk dicintai. Efek domino cinta setengah hati.
Lalu apa dampaknya bagi perusahaan? Mari membayangkan pasangan yang terikat dalam hubungan setengah hati. Tidak ada rasa bangga yang disampaikan/ditunjukkan, tidak ada usaha serius – apalagi bisa lebih – yang dilakukan untuk melayani pihak yang lain, dan tentunya berimbas pada kepuasan, lalu kesetiaan. Secara sederhana, demikianlah efek domino rasa cinta karyawan terhadap perusahaan. Memberi pengaruh terhadap rasa percaya dan cinta konsumen yang berinteraksi dengan mereka secara langsung. Mempengaruhi tingkatan layanan yang diberikan.
Mempengaruhi jumlah konsumen yang akan menjadi partner bisnis jangka panjang. Mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan. Efek domino berbahaya, yang perlu diwaspadai dan diputus jalurnya.
“Customers will never love a company until the employees love it first.”
- Simon Sinek-