Self Improvement
Fleksibel
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 01, 2019
Ada kesenangan tersendiri saat melihat serial Si Doel Anak Sekolahan ditayangkan ulang di satu stasiun televisi. Nostalgia yang ternyata memberi hikmah tersendiri. Pada masanya, sinetron ini begitu digemari adn dinanti-nanti, walau dengan pariwara berjibun. Berkisah tentang tokoh bernama Doel, yang berjuang mewujudkan impian sang ayah dan keluarganya untuk menjadi sarjana dan
meraih kesuksesan sebagai pekerja kerah putih.
Ada banyak tokoh dalam serial ini, tidak heran jika konflik di dalamnya penuh warna. Dan tokoh iconic yang paling menarik perhatian di sinetron ini, menurut saya, ada dua orang; yaitu sang ayah yang diperankan oleh alm. H. Benjamin Sueb – akrab disebut babe, dan sang paman bernama Mandra yang diperankan oleh Mandra sendiri. Dua tokoh ini bagai tokoh anjing dan kucing dalam serial kartun, atau kucing dan tikus, atau karakter sejenis lainnya yang berinteraksi dalam hubungan benci dan cinta. Karena itu mereka hampir selalu beradu argumen, bertengkar, tidak sepaham, dan akhirnya saling melontarkan perkataan yang tidak memmbuat hubungan mereka lebih baik. Babe dan Mandra, lebih memilih untuk tidak berinteraksi satu sama lain – andai saja boleh memilih. Namun mereka saling terikat tanggung jawab yang harus dilakukan demi kelangsungan hidup keluarga.
Tokoh lainnya yang dikenal menjadi penengah adalah ibu si Doel, yang dipanggil dengan sebutan Mak Nyak. Beliau sering terjepit di posisi tengah, sebagai istri Babe – yang selalu sebal pada Mandra, dan sebagai kakak Mandra – yang merasa Babe adalah partner bertikainya. Uniknya, walau seolah menjadi pihak yang paling tidak berdaya di antara konflik Babe dan Mandra, Mak Nyak sering terlihat mampu menghadapi dua tokoh ini dengan baik. Tidak heran kalau banyak yang bertanya-tanya, mengapa Babe tidak “tertular” gaya Mak Nyak istrinya, dalam menghadapi Mandra. Andai Babe mau sedikit menyesuaikan diri, mungkin tidak terlalu banyak konflik mereka alami sepanjang episode hingga sampai kepergian Babe.
Konflik antara Babe dan Mandra menjadi hiburan kita, karena diramu dalam dialog-dialog dan ekspresi kocak. Kurang greget rasanya jika mereka adem ayem saja. Tapi bayangkan jika Babe dan Mandra adalah dua orang yang benar-benar ada dalam kehidupan kita, entah personal maupun profesional. Setiap dari kita bahkan mungkin pernah merasa menemukan sparing partner bersitegang dalam pekerjaan. Herannya, ada tokoh mirip Mak Nyak yang bisa aman-aman saja berkomunikasi dan
bekerjasama dengan mereka. Dan ini membuat kita entah mempertanyakan mengapa tokoh ini mau dan bisa bekerjasama dengan si biang onar (versi kita), atau mengagumi ketabahannya menghadapi cobaan berat (lagi-lagi versi kita). Mana yang benar?
Sering kali kita menyebut mereka yang tidak cocok dengan gaya kita, sebagai orang sulit, tidak menyenangkan, menyebalkan, tidak bisa diajak kerjasama, dan lain sebagainya. Terlalu lambat,
terlalu penakut, ribet, dan alasan-alasan lainnya. Namun jika memang mereka – katakanlah secara ekstrim – sebrengsek itu, mengapa orang lain bisa menjadi partner yang baik bagi mereka? Siapa yang salah? Atau, apa yang salah?
Secara tidak sadar, kita lebih mudah dekat dan berinteraksi dengan mereka yang mirip dengan kita. Memiliki motivasi yang serupa dengan kita. Mereka yang sangat peduli pada perasaan orang lain akan merasa tenang berinteraksi dengan mereka yang perhatian dan mau mendengarkan. Sebaliknya, merasa kurang nyaman dalam satu tim dengan mereka yang terus mendorong, mengejar target, meminta update pencapaian bahkan hingga setelah jam kerja, dan sebagainya. Berlaku vice versa – juga sebaliknya.
Tidak ada yang salah dalam hal ini. Tidak salah jika merasa sulit akur dengan seorang yang berbeda gaya dari kita. Tidak salah pula jika merasa nyaman berinteraksi dengan tipe tertentu manusia. Namun akan menjadi sangat salah jika kita kemudian lantas berkeras untuk hanya berinteraksi, bekerjasama dengan satu tipe itu saja. Berkeras untuk tidak berusaha melakukan sesuatu untuk membangun komunikasi yang lebih baik, berkeras untuk tetap “menjadi diri kita” saat menghadapi mereka.
Mari mencoba melihat sosok yang bisa berinteraksi dengan mereka dan dengan kita. Apa yang selama ini mereka lakukan? Jika kita mau secara jujur mengamati dan memberi penilaian, kita akan melihat bahwa mereka “hanya” menyesuaikan diri saat harus
berinteraksi dengan tiap orang berbeda. Bukan, mereka bukan sosok yang dalam dunia gosip kerja sering disebut sebagai si ‘pintar cari muka’. Mereka adalah orang-orang yang tahu bagaimana menempatkan dirinya, dan tidak kaku saat harus menghadapi orang lain. Mereka mengenali apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan agar komunikasi dengan beberapa orang tertentu berjalan lancar. Pada intinya, mereka akur dengan banyak orang karena mereka memutuskan untuk mengurangi ego untuk menang, dan menjadi lebih fleksibel. Sudahkah Anda coba lakukan ini?
Ketika dua orang dari gaya yang berbeda tidak akur, masalahnya seringkali bukan karena ketidakcocokan, tetapi karena kekakuan (ketidakmampuan menjadi fleksibel).
(Bolton & Bolton)