Self Improvement
Kerja Keras
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 10, 2019
Di satu kelas, tanpa diduga seorang peserta menghampiri dan membisiki pengajar kami, mengakui bahwa ia penyandang autis, dan menyatakan tidak bisa mengikuti aktivitas kelompok yang sekiranya ada. Hah?! Ada penyandang autis yang bisa bekerja di perusahaan? Mungkin ini adalah hal baru bagi orang awam seperti kita, namun nyatanya memang ada. Dan lebih hebat lagi, para penyandang autis bahkan mampu memukau dunia.
Sejak pertama kali autisme didiagnosis pada tahun 1943, penyandang autis di dunia semakin meningkat jumlahnya. Namun meski memiliki masalah dalam berkomunikasi dan bersosialisasi, nyatanya banyak anak-anak autis yang tumbuh menjadi orang sukses. Salah satu karya sukses penyandang autis adalah karakter kartun yang versi gamenya kemudian mencatat rekor dunia; Pokemon. Ide pokemon datang dari Satoshi Tajiri, sekitar periode 1989-1990 saat Game Boy diluncurkan. Satoshi Tajiri mengalami sindrom asperger, penyakit yang masuk ke dalam spektrum autisme. Namun, kondisi tersebut tidak menghambatnya menjadi seorang pengusaha sukses, asalkan mau kerja keras. Kesenangan Tajiri mengumpulkan serangga saat kecil menjadi ide dasar baginya mendesain video game. Ia juga menciptakan salah satu waralaba video game yang paling populer di dunia, Game Freak, Inc, yang menciptakan game secara eksklusif untuk Nintendo dan dipublikasikan pada 1996.
Penyandang sindrom asperger berprestasi lainnya adalah Tim Page, seorang kritikus terkenal dan penulis yang memenangkan Pulitzer Prize sebagai kritikus musik untuk Washington Post. Ia juga dipilih Opera News sebagai 25 orang paling berpengaruh di dunia opera. Page telah menghasilkan konser di seluruh dunia dan sejak itu dinobatkan sebagai seorang profesor jurnalisme dan musik di University of Southern California. Sementara Matt Savageyang divonis menderita PDD (Pervasive Development Disorder Unspecified) dijuluki ‘mozart of jazz’ oleh legenda jazz Dave Brubeck.
Ada pula Temple Grandin, seorang autis yang sukses menjadi profesor di bidang ilmu hewan. Ia sukses mendapatkan gelarnya itu dari Colorado State University. Grandin juga menulis sepuluh buku tentang hewan dan perilaku manusia. Bahkan HBO membuat film khusus yang mengisahkan perjalanan hidupnya, dengan judul “Temple Grandin”. Sementara Daniel Tammet – yang juga dikenal sebagai 'Brainman', seorang penulis, linguist, dan pendidik, dinobatkan sebagai 1 dari 100 orang jenius yang masih hidup di dunia.
Ketika mendengar kata 'autis', yang ada di benak kebanyakan orang adalah beberapa hal; orang yang punya ‘dunia sendiri', sebagai sebutan mengejek untuk teman yang kurang fokus kalau diajak bicara, atau mereka yang terlalu terpaku pada gadgetnya. Tapi tidak banyak yang mengasosiasikannya dengan kata jenius. Lebih mudah mengasosiasikan anak-anak dengan prestasi akademis tinggi sebagai jenius. Pencipta roket, jenius. Mampu berbicara dalam 20 bahasa, jenius. Mampu mengingat seratus digit angka dalam 30 detik, jenius. Tetapi penyandang autis...?
Sampai saat ini belum ada obat yang digunakan untuk menyembuhkan autisme. Sindrom autisme adalah kondisi biologis sehingga tidak dapat disembuhkan. Namun ada penanganan medis yang bisa dilakukan untuk mengurangi gejala serta tanda yang terjadi. Autisme membutuhkan terapi, dukungan serta penanganan yang tepat sejak dini, sehingga peyandang dapat dengan cepat beradaptasi,
berkomunikasi lebih baik, serta bersosialisasi.
Memakan waktu? Pasti. Sulit? Jika kita menjawab “Sangat!”, bayangkan apa yang dirasakan para penyandangnya. Saat mereka berhasil menulis buku inspiratif, meraih gelar profesor, hingga merekam tiga album musik, kerja keras yang mereka lakukan membuat mereka sosok yang disebut Thomas A. Edison sebagai Jenius. Menjadi jenius disumbang oleh 1% inspirasi, dan sisanya adalah 99% keringat alias kerja keras. Jadi harusnya kita tidak boleh banyak beralasan tentang IQ yang tidak tinggi, karena menjadi jenius adalah
keputusan kita untuk mau mengupayakannya dengan keras.
“Genius is 1% inspiration, and 99% perspiration.”
- Thomas Edison-