Saya masih ingat awal saya dipercaya mengepalai
departemen Customer Care di perusahaan lama saya. Rasanya sulit sekali mengatur tim yang memang masih muda dan belum banyak berpengalaman. Banyak kesalahan yang mereka buat, dan banyak arahan yang perlu diberikan. Tidak jarang saya nyaris “meledak” saat kesalahan yang sama berulang, atau masalah timbul akibat aksi “sok tahu” mereka. Untungnya, sebelum saya yang “meledak”, top management sudah lebih dulu “meledak” di monthly meeting pagi itu. Kata-kata yang terlontar saja sudah lebih dari cukup untuk membuat wajah hingga telinga memerah, apalagi dengan tudingan langsung ke beberapa personal di dalam forum. Tidak ada yang berani membuka mulut, bahkan untuk sekedar bersin atau melongo. Dan tampaknya tidak ada yang ingat jelas isi lain dari meeting setengah hari tersebut, sejelas mereka mengingat makian tiga menit yang begitu menghujam.
Bisa ditebak hasilnya, perbincangan penghuni kantor hari itu dipenuhi reka ulang dan pendapat atas adegan murka “Bos Galak” yang fenomenal. Banyak yang bersimpati pada mereka yang dituding secara langsung. Komentar-komentar seperti “Atasan koq ngomongnya gitu.”, “Ga pantes pimpinan marahin orang kayak gitu”, dan kalimat senada lainnya menjadi bahasan panjang hingga keesokan harinya, dan masih terus diingat. Nilai the big boss menurun drastis di mata karyawannya, terutama di mata beberapa orang yang mendapat dampratan langsung.
Dari semua bentuk tekanan, penghinaan di depan umum adalah hal yang paling tidak bisa diterima. Dan ini berlaku universal, bukan hanya pada karyawan. Lihat saja bagaimana mantan Ratu Kecantikan Turki, Merve Buyuksarac, terancam dua tahun penjara akibat komentarnya di Instagram, yang dituduh menghina Presiden Recep Tayyip Erdogan. Merve dituntut karena menuliskan kutipan dari puisi satir The Master`s Poem – yang kerap digunakan orang Turki untuk mengkritik Erdogan, dan dianggap menghina pejabat publik. Pada karyawan, di kesempatan pertama seorang karyawan mungkin tidak pergi, tetapi pikiran untuk melakukannya telah tertanam. Kali yang ke dua, pikiran itu diperkuat. Saat terulang yang ke tiga kalinya, dia mulai mencari pekerjaan yang lain.
Ingat, ketika orang tidak bisa membalas kemarahan secara terbuka, mereka melakukannya dengan serangan pasif. Mereka tidak akan peduli jika hasil kerjanya mempengaruhi penilaian terhadap performa Anda secara keseluruhan. Mereka akan lebih tidak peduli pada kebutuhan Anda. Boro-boro
menciptakan engagement dengan tim, sudah bagus kalau mereka masih bertahan di bawah Anda dan masih memberikan hasil kerja terbaik. Kalau pun tim Anda masih memberikan usaha terbaiknya, agaknya itu demi dirinya sendiri, bukan karena rasa cintanya pada perusahaan, tim kerja, apalagi atasan langsungnya.
Hal-hal seperti ini yang membuat seorang leader harus mawas diri. Mawas diri berarti memahami siapa diri kita, dan seberapa sama atau berbedanya diri kita dengan orang lain. Satu aspek kuncinya adalah pengetahuan diri, yaitu bagaimana kita melihat atribut, nilai, sikap dan perilaku pribadi kita yang beragam. Aspek yang lain adalah bersikap menyadari sekonsisten/tidak-konsisten apa kita melihat diri kita bila dibandingkan dengan penilaian orang lain, atau dengan data yang objektif. Aspek terakhir ini amat penting untuk mengubah pengetahuan diri dari sekedar introspeksi pribadi menjadi mawas diri yang akurat.
Jika Anda pernah berpartisipasi dalam sebuah training atau program pengembangan diri, mungkin Anda pernah mengisi assessment yang didesain untuk meningkatkan rasa mawas diri. Anda mungkin bisa menemukan “tipe”, “profil” ataupun “gaya kepemimpinan” diri Anda, tetapi tidak berarti hal itu membuat Anda menjadi seorang leader atau team member yang lebih efektif. Masalahnya, kita adalah penilai yang buruk bila itu mengenai diri kita sendiri. Will Rogers pernah berkelakar, “Bukan hal yang tidak kita ketahui yang memberi kita masalah, melainkan hal yang kita kira ketahui padahal
tidak demikian.”. Profil individu saya mungkin menyiratkan bahwa saya melihat diri saya sendiri sebagai seorang pembicara yang persuasif, walau kenyataannya audiens saya tertidur mendengarkan saya presentasi. Saya sendiri merasa telah menjadi leader yang memotivasi team member, saat team member saya merasa demotivasi karena kalimat-kalimat tajam saya. Tanpa adanya data eksternal, hasil assessment diri sendiri dianggap akurat, padahal justru dapat memberi persepsi yang tidak akurat mengenai diri kita sendiri. Ini bisa berbahaya bagi pengembangan, performa, dan efektivitas tim.
Erich C. Dierdorff and Robert S. Rubin baru-baru ini mengumpulkan data dari sebuah program pengembangan eksekutif pada sebuah perusahaan Fortune 10. Dengan 58 tim dan lebih dari 300 leader yang melaksanakan simulasi bisnis yang kompetitif dan dinamis, mereka menguji sejauh mana kemawasan diri yang akurat berhubungan dengan efektivitas tim. Evaluasi dilakukan melalui sejumlah metrik bisnis seperti market share, ROA, customer awareness,
produktivitas, tingkat koordinasi tim, manajemen konflik, dan seterusnya. Dan berikut temuan yang mereka bagikan:
1.
Saat seseorang kurang mawas diri (misal: ada jarak yang besar antara assessment mengenai kontribusi sikapnya dengan assessment tentang anggota tim yang lain), tim yang terkena imbasnya. Bahkan, tim yang memiliki anggota yang kurang mawas diri,
membuat keputusan-keputusan yang buruk, bekerja dengan koordinasi kurang baik, dan menunjukkan manajemen konflik yang kurang. Temuan ini bertahan bahkan saat mereka meneliti tingkat teamwork secara keseluruhan.
2. Situasi yang paling merusak muncul saat tim memiliki over-rater yang signifikan (misal: orang yang menyangka ia berkontribusi banyak, padahal menurut anggota tim yang lain tidak sebanyak itu.). Hanya dengan dikelilingi oleh rekan tim yang rendah mawas dirinya, atau oleh over-rater yang menganggap dirinya lebih, merusak kemungkinan tim untuk bisa sukses.
Hasil temuan ini jelas menunjukkan betapa pentingnya mawas diri, juga bagi seorang leader sebagai team member dengan power dan role terbesar.
Dalam praktik pengembangan bakat, perusahaan-perusahaan menghabiskan jutaan rupiah dan waktu tak terhitung setiap tahunnya untuk assessment individu yang hanya menarget pengetahuan diri. Sedangkan agar bisa lebih efektif pengembangan talenta harus lebih dari pengetahuan diri. Untuk performa efektif, tiap anggota tim harus memiliki kombinasi skill teknis dan interpersonal serta secara konstan menyesuaikan kontribusi mereka untuk memenuhi kebutuhan tim. Prinsip terpenting adalah memahami secara tepat kemampuan seseorang dengan komparasi dari yang lain.
Tiga tips berikut dapat dilakukan leader untuk membantu membangun mawas diri yang akurat.
1. Gunakan perangkat penilai mawas diri yang bertautan dengan performa
Banyak assessment pengembangan yang populer digunakan untuk mendapatkan pengetahuan diri kurang memiliki bukti ketertautan hasilnya dengan performa belajar dan pekerjaan dengan aktual. Apapun instrumen, exercise, atau intervensi yang Anda gunakan, harus menangkap dan men-deliver hasil yang benar-benar memprediksi sesuatu yang penuh nilai. Gunakan benchmark eksternal: ukur bagaimana cara pandang diri seseorang dibandingkan dengan pandangan orang lain, dan ukur bagaimana assessment berkaitan secara langsung dengan outcome (seperti pembelajaran yang meningkat dan performa kerja).
2. Buat garis pandang antara kemawasan diri dengan kesuksesan kerja pribadi
Ketika orang melihat suatu pembelajaran berharga bagi karir mereka, mereka termotivasi untuk mempelajari dan menerapkan keahlian-keahlian baru dalam pekerjaan mereka. Kita harus mengkomunikasikan secara lebih lugas mengapa kapabilitas seseorang dimana ia
mendapatkan feedback adalah relevan. Jangan berasumsi bahwa seseorang sudah mengenali kebutuhan akan mawas diri yang akurat. Karena orang-orang yang paling membutuhkan perbaikan diri justru adalah yang paling tidak menyadari.
3. Ajarkan skill pengembangan diri sebagai tambahan mawas diri
Memperoleh kemawasan diri yang akurat hanyalah awal. Pengembangan diri yang sesungguhnya membangun kapasitas untuk mengambil tindakan. Jangan sampai ada gap antara mengetahui dan menerapkan apa yang diketahui.
Selain tiga tips di atas, beberapa strategi juga dapat diterapkan. Misalnya training manajemen diri yang dapat membantu orang merencanakan, menerapkan, memonitor dan menyesuaikan kompetensi yang baru mereka pelajari. Dan dengan menegaskan bahwa kesalahan adalah alami bagi tiap proses pembelajaran, training manajemen dapat mendorong pembelajaran lebih mendalam dan menyalurkan pembelajaran tersebut kepada pekerjaan mereka. Tunjukkan bagaimana cara pandang diri yang tidak sempurna (atau dengan kata lain tidak mawas diri) akan menghalangi jalan menuju improvement yang sesungguhnya.