Coaching
Mengapa coaching belum efektif?
by
Susanti Yahya
Posted on
May 04, 2018
Coaching diyakini banyak perusahaan sebagai cara efektif memberdayakan karyawan. Tapi keyakinan ini menuai beberapa sanggahan. Karena kenyataannya, seringkali karyawan masih saja kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Pada saat yang sama, atasannya mengaku sudah berkali-kali melakukan coaching dan merasa tidak ada manfaatnya. Apa yang salah?
Satu kisah dari divisi tetangga mungkin bisa menjadi contoh. Ini terjadi pada Mira, salah seorang sales senior andalan team asuhan Pak Doni. Tidak seperti biasa, kali ini Mira terlihat kurang bersemangat dalam bekerja. Keceriaan dan tawa yang biasanya mewarnai ruang kerja bagian pemasaran tidak terdengar lagi. Perubahan perilaku Mira jadi perhatian Doni, karyawan senior yang baru saja dipromosikan sebagai manajer. Pasalnya, nilai penjualan Mira dalam dua bulan terakhir tidak mencapai sasaran. Tak ingin masalah Mira berkepanjangan, Doni pun memanggilnya untuk mendiskusikan solusi terbaik.
Doni: Saya lihat akhir-akhir ini kamu kurang bersemangat. Hasil penjualanmu juga turun Mir, tidak seperti biasanya. Ada apa?
Mira: Iya pak. Saya merasa pembagian lokasi pasar yang saya dapat terlalu berat. Lokasinya jauh banget dari kantor, dan jauh juga dari rumah saya. Saya jadi lebih capek karena setiap hari harus menempuh perjalanan sejauh itu.
Doni: Oh, begitu. Dari empat orang teman kamu, adakah yang lokasinya searah, yang kira-kira bisa mengantar kamu ke tempat calon customer?
Mira: Ada sih Pak. Erwin bawa motor.
Doni: Kalau begitu kamu saya bundling saja dengan Erwin yang punya motor! Kalian bisa saling bantu. Kamu bisa bantu Erwin menjelaskan produk-produk kita. Sebaliknya, Erwin bantu kamu mengantar ke calon-calon pelanggan kita. Sama-sama untung kan kalau begitu!
Mira: Setuju pak. Tapi Bapak bantu jelasin ke Erwin ya pak soal ini? Masalahnya kalau saya yang bilang, dia ga akan percaya dan belum tentu mau.
Doni: Baiklah. Coba tolong panggilkan Erwin sekarang.
Problem solved. Masalah Mira teratasi dan nilai penjualannya membaik, bahkan terus mengalami peningkatan. Namun dampaknya ternyata kurang menguntungkan bagi Doni, karena sejak itu Mira sangat bergantung padanya. Mira jadi sering minta bantuan dari Doni untuk setiap masalah – bahkan yang sepele dan seharusnya bisa diatasinya sendiri. Akibatnya Doni merasa kewalahan, karena sebagian besar waktunya dipenuhi oleh permasalahan dan permintaan Mira.
Lain lagi dengan Wati yang justru tidak mendapatkan solusi yang memadai dari atasannya. Alih-alih mencari alternatif pemecahan masalah, ia justru melempar tanggung jawab kepada atasannya. Kisah ini tak sengaja mampir ke telinga penulis saat sedang menikmati makan siang di suatu kantin. Cerita antara Wati dan rekan kerjanya yang bernama Santi.Problem solved. Masalah Mira teratasi dan nilai penjualannya membaik, bahkan terus mengalami peningkatan. Namun dampaknya ternyata kurang menguntungkan bagi Doni, karena sejak itu Mira sangat bergantung padanya. Mira jadi sering minta bantuan dari Doni untuk setiap masalah – bahkan yang sepele dan seharusnya bisa diatasinya sendiri. Akibatnya Doni merasa kewalahan, karena sebagian besar waktunya dipenuhi oleh permasalahan dan permintaan Mira.
Santi: Jadi gimana penjualanmu dalam sebulan ini? Sudah mulai ada perbaikan?
Wati: Ga tau nih..belum ada. Padahal aku sudah ikuti apa yang disarankan bos. Ternyata ga berhasil.
Santi:Ga berhasil?
Wati: Iya, gatot! Gagal total. Bos nyuruh ngumpulin calon nasabah di satu tempat, tapi akhirnya justru mereka jadi bisa diskusi tentang kelemahan-kelemahan produk asuransi lain. Dan itu merugikan citra kita sebagai sesama produk asuransi.
Santi: Terus, solusi yang kamu ambil apa?
Wati: Ga tau deh. Itu urusan bosku aja. Lagian cara itu kan saran dia. Aku cuma pelaksana. Lagian kerjaanku bulan ini lumayan banyak. Ada beberapa nasabah yang mengajukan klaim asuransi kesehatan.
Santi: Wah, enak ya jadi kamu… ga usah mikir, tinggal tanya boss!
Meski berbeda hasil, kedua dialog di atas memberi kita pola familiar yang senada: bawahan yang terlalu bergantung pada atasan. Mari sama-sama menyadari dan mengakui, bahwa nyatanya yang sering terjadi dalam sesi-sesi coaching adalah atasan terlalu cepat memberikan solusi, dan bukan mengajak diskusi yang menggali solusi dari coachee nya. Akibatnya, seperti terekam dalam kedua dialog di atas, bawahan menjadi kurang mandiri.
Yang sering terjadi dalam sesi-sesi coaching adalah atasan terlalu cepat memberikan solusi, dan bukan mengajak diskusi yang menggali solusi dari coachenya. Akibatnya bawahan menjadi kurang mandiri.
Lain halnya bagi bawahan yang bisa lebih independen. Sesi coaching menjadi saat-saat membosankan karena harus mendengarkan uraian nasihat yang sudah berulang-ulang disampaikan. Tak heran, saat nasihat ternyata tidak efektif, bawahan justru menyalahkan atasan dan melempar tanggung jawab kepadanya. Bisa jadi hal itu dilakukannya sebagai reaksi negatif karena merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, merasa dipaksa atau terpaksa melakukan.
Mengapa bawahan menjadi kurang mandiri dan tidak berkembang? Apakah ada yang salah dengan coaching yang dilakukan oleh atasan kepada bawahannya?
021 29578599 (Hunting)
021 29578602 (Hunting)
0821 1199 7750 (Mobile)
0813 8337 7577 (Mobile)
info@studilmu.com