Customer Service
Pelayanan Prima
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 12, 2019
Entah apa yang ada di pikiran petugas admin sosial media British Airways, saat merespon komentar provokatif seorang konsumen kecewa di twitter. Setelah kesulitan mengurus kehilangan bagasi ayahnya, sang konsumen memutuskan untuk meluapkan kekesalannya dalam kicauan maya. Tapi tidak seperti konsumen pada umumnya, ia membuat usaha lebih untuk mendapat perhatian British Airways, dengan menggunakan rute paid advertising. Hasilnya, kalimat “Don’t fly @BritishAirways. Their customer service is horrendous (Jangan terbang menggunakan @BritishAirways. Layanan pelanggan mereka “menghebohkan”)” sukses berterbangan di jagat twitter dan dilihat hingga 76.000 orang dalam waktu delapan jam sebelum akhirnya sang admin merespon.
Apa respon Anda jika menjadi sang admin? Kemungkinan segera membalas dengan permintaan maaf dan meminta nomor kontak untuk komunikasi langsung via telepon. Tapi sungguh, petugas ini entah punya nyali tak tergoyahkan, atau begitu “polos”nya mengikuti peraturan perusahaan. Dengan enteng dia membalas dengan permohonan maaf atas respon yang tertunda, dan menginformasikan bahwa layanan twitter mereka beroperasi di jam 9 pagi hingga 5 sore. Jadi konsumen dipersilahkan mengirim pesan langsung terkait keluhannya. Wow! Saya si pihak ke tiga yang hanya membacanya saja kaget luar biasa. Respon lanjutannya lebih kocak lagi. Konsumen yang kesal mempertanyakan bagaimana mungkin perusahaan sebesar British Airways layanan media sosial untuk pelanggannya hanya beroperasi 9-to-5, dan menyuruh British Airways yang menghubunginya lewat pesan langsung. Dan... admin menjawab bahwa karena konsumen tidak memfollow akun twitternya, maka ia tidak bisa mengirim pesan langsung. Padahal, si
konsumen sudah menjadi follower mereka, dan tentunya semakin marah, karena itu artinya sang admin bahkan belum pernah melakukan pengecekan untuk mencoba menghubunginya.
Kisah ini mengingatkan saya akan pengalaman saya sendiri saat menerima pelayanan yang – menurut saya – tidak sesuai dengan levelnya. Saat di suatu penerbangan panjang, beberapa kali penumpang dari kelas ekonomi melenggang masuk dengan santainya ke kelas bisnis untuk menggunakan lavatory bisnis, pada sekian kali yang sama pula saya harus menunggu antrian hingga tiga orang. Dan yang lebih mengesalkan adalah, saat giliran saya menggunakan lavatory, pengguna sebelum saya meninggalkan jejak kasat mata tak mengenakan, yang membuat saya harus terlebih dahulu membersihkannya sebelum menggunakan toilet. Di puncak keberatan saya, saya menegur petugas pertama yang saya temukan sekeluarnya dari lavatory. Bahwa mereka membiarkan pembagian area dan fasilitas yang saya tahu dibedakan berdasarkan apa yang saya bayar, dilanggar seenaknya. Dan bahwa mereka seharusnya lebih aktif lagi melakukan pengecekan untuk menjaga kebersihan fasilitas. Dan sang petugas yang saat itu sibuk menyusun berbagai menu di sejumlah baki menatap saya dengan tertegun – mungkin kaget dan khawatir akan konsekuensi yang ia akan terima, dan memohon maaf dengan tergagap.
Tidak ada maksud menjelekkan kinerja mereka pada saat saya menyampaikan keberatan saya. Tidak ada pula keinginan untuk membuat mereka berada dalam masalah saat saya memberitahukan bahwa mereka lalai melakukan tugas. Sebagai mantan garda depan pemberi layanan langsung, saya menyadari betapa sulitnya melayani ratusan kebutuhan dan permintaan konsumen di saat bersamaan. Betapa memusingkannya mengawasi berbagai standar
pelayanan prima agar berjalan sebagaimana harusnya, dan menghindari pelanggaran berakibat kesalahan baik dari pihak internal maupun eksternal. Yang saya harapkan saat itu hanya satu, mereka melakukan sesuatu untuk memperbaiki hal yang tidak semestinya. Walau tidak merubah apa yang telah saya alami, namun setidaknya memberi perbaikan ke depan. Yang artinya, di masa depan resiko saya mengalami hal yang sama akan berkurang. Dan itu cukup bagi saya.
Sering kali, sebagai pemberi layanan prima kita merasa alergi kepada keluhan konsumen. Namun apa daya, ibarat alergi terhadap makanan pokok, mau tidak mau harus ditelan dan dilewati, karena dari sanalah sumber penghidupan kita. Pada kenyataannya, tidak selalu keberatan konsumen berarti emosi negatif. Tidak setiap keluhan bermakna tuntutan kesempurnaan. Namun jika kita mengabaikan suara mereka, memang itu akan menjadi sumber masalah besar. Menjadi kisah ironis yang dijadikan percontohan sekian tahun ke depan.
Dengan mencoba melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi, Anda telah mengambil langkah awal service recovery dan pelayanan prima, kemungkinan juga selangkah lebih jauh dalam usaha mendapatkan loyalitas mereka.
“Customers don’t expect you to be perfect. They do expect you to fix things when the go wrong.”
- Donald Porter V.P. British Airways