Coaching
Pengaruh Atasan pada Pengembangan Anak Buah
by
Susanti Yahya
Posted on
Jun 06, 2018
Alasan selanjutnya tentang penyebab
Coaching tidak efektif, adalah kenyataan pahit bahwa terkadang
Atasan Tidak Berorientasi Pada Pengembangan Anak Buah.
Jika kualitas pohon bisa dilihat dari buahnya, maka kualitas seorang atasan bisa dilihat dari perkembangan anggota tim atau bawahannya. Dalam lingkup coaching sebagai atasan, kualitas seseorang dalam berkomunikasi akan terlihat dari perubahan perilaku orang yang mendengarkan, dalam hal ini adalah bawahan.
Andi yang berusaha mengkonfirmasi Lisa perihal masalah pencapaiannya yang merosot, justru memicu masalah karena cara bicara Andi yang tak ubahnya polisi menginterogasi terdakwa. Tak ada jeda waktu untuk Lisa berpikir, apalagi bertanya. Lisa sama sekali tidak puas dan merasa sangat direndahkan oleh Andi. Siska yang uring-uringan karena dinilai tidak kompeten oleh atasannya, dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai tenaga pemasar, dan akhirnya tersinggung dan tidak terima dengan kritikan tersebut. Wati yang tidak juga berusaha mencari solusi atas masalahnya. Alih-alih mengambil tanggung jawab sendiri, ia justru melempar tanggung jawab kepada atasannya, lalu menyalahkan atasannya. Mira yang jadi sering minta bantuan dari atasannya – Doni, untuk setiap masalah – bahkan yang sepele dan seharusnya bisa diatasinya sendiri.
Apa yang bisa kita pelajari dari kasus-kasus di atas? Atasan yang terlalu banyak nasihat hanya membentuk ketergantungan bawahan terhadap dirinya, menciptakan ketidakmandirian. Bila tidak ada perubahan pendekatan atasan terhadap bawahan, Mira dan Wati tidak akan pernah berhasil menjadi pemasar yang handal. Di sisi lain, Andi maupun atasan Siska juga tidak akan pernah mampu menjadi atasan yang baik, bila ia tidak memperhatikan perkembangan bawahannya, dan menyadari kekurangannya dalam berkomunikasi. Ia tidak akan berhasil mengambil hati bawahan, bila ia terus-menerus memanipulasi bawahannya demi kepentingan sendiri. Sulit baginya untuk membiarkan bawahannya bekerjasama dengan tingkat loyalitas yang tinggi. Satu-satunya cara yang bisa ia gunakan – dan yang justru akan semakin kehilangan efektivitasnya, adalah tangan besinya.
Akibat lanjut dari pola relasi atasan yang tidak berorientasi pada pengembangan bawahannya adalah pola relasi formal, dilandasi oleh rasa takut, atau konflik yang tanpa henti. Bagi bawahan, jangankan menjadi sarana berkembang dan menambah kemampuan, pekerjaan hanya jadi rutinitas yang tidak mendatangkan kepuasan apalagi harga diri. Tugas-tugas dari atasan tidak lagi menjadi sarana aktualisasi diri, tetapi menjadi beban dan sumber rasa tidak aman baru bagi bawahan. Jika demikian, tingginya angka turnover karyawan adalah hasil yang tidak mengejutkan. Keluar-masuk karyawan menjadi hal yang biasa, menjurus tradisi.
Pemegang saham sering menggunakan alasan mengejar keuntungan sebagai dalih mempertahankan para atasan yang cenderung manipulatif terhadap bawahan tersebut. Untuk alasan meraih keuntungan finansial, karyawan diperlakukan sebagai expendable commodity (komoditas yang bisa dihabiskan) untuk mencapai tujuan keuntungan finansial. Kemampuan para manajer dalam meyakinkan pemegang saham demi pencapaian spektakuler jangka pendek – pencapaian keuntungan – telah melanggengkan praktik yang tidak manusiawi terhadap karyawan tapi menyemai benih kemunduran bagi perusahaan.
Situasi menguntungkan itu tidak bisa bertahan lama. Penekanan pada keuntungan finansial jangka pendek sering bertolak belakang dengan investasi jangka panjang dalam hal peningkatan kapabilitas pekerja. Prinsip balanced scorecard lebih menekankan pada pentingnya investasi masa depan – pendidikan dan pelatihan pekerja, bukan hanya pada investasi tradisional (seperti peralatan baru, riset, dan pengembangan produk baru). Untuk mencapai tujuan pertumbuhan keuangan jangka panjang yang ambisius, investasi dalam infrastruktur karyawan justru sangat diperlukan. Bukankah penggerak perusahaan adalah karyawan-karyawan dengan dedikasi dan kemampuan yang baik?
Anda tidak perlu menjadi expert untuk
memberi coaching, tidak perlu menjadi yang terpintar atau yang berpengalaman terbanyak. Tidak perlu memiliki semua solusi. Tapi Anda harus bisa terhubung dengan orang lain, menginspirasi mereka untuk jadi yang terbaik, dan membantu mereka mencari jawaban dari diri mereka sendiri.
Banyaknya coaching yang dilakukan tidaklah lantas efektif menyelesaikan masalah bawahan. Untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, bawahan harus dilatih untuk tidak terus bergantung pada atasannya. Untuk itulah atasan tidak boleh terlalu banyak memberi nasihat kepada bawahannya. Atasan juga perlu memiliki komitmen yang besar terhadap perkembangan bawahannya. Atasan perlu memelihara kecerdasan emosinya, disamping memperhatikan
perkembangan kinerja bawahan sebagai sarana investasi jangka panjang.