Seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik
Oh senangnya aku senang sekali
Kalau begini aku pun jadi sibuk
Berusaha mengejar mengejar dia
Matahari menyinari semua perasaan cinta
Tapi mengapa hanya aku yang dimarahi
Di musim panas merupakan hari bermain gembira
Selalu saja terkena flu pilek tiada henti hentinya
Tak pernah tidur dan tak ada yang berani ganggu dia... oh sibuknya
Aku sibuk sekali
Apakah Anda familiar dengan lirik lagu tersebut? Mungkin Anda akan ikut berdendang jika mendengar irama yang sudah tidak asing lagi. Yah, musiknya easy listening, namun liriknya cukup membuat kening berkerut jika kita menyimak dan memaknainya. Biasanya sih, karena ketukan yang riang justru membuat kita mengesampingkan liriknya.
Lirik theme song Sinchan yang cukup menggelitik saya ada pada bagian : Kalau begini aku pun jadi sibuk dan pada bagian : oh sibuknya Aku sibuk sekali.Ini adalah lagu untuk film/tayangan anak-anak, tokoh Sinchan pun dikisahkan masih usia anak-anak. Tapi bisa-bisanya Sinchan yang masih belum mengenal dan berkecimpung dengan dunia bisnis, merasa sibuk, bahkan sibuk sekali.
Sekarang ini, dunia terasa seakan-akan berputar begitu cepatnya, meskipun sebenarnya ini diakibatkan aktifitas kita yang semakin padat. Jika Sinchan saja mengeluhkan betapa sibuknya dia, apalagi kita, yang bukan lagi karyawan baru masuk. Kita, yang adalah para leader ini. Sibukkah kita?
Jelas, kita amat sangat sibuk, betul? Tuntutan perusahaan, arus informasi yang begitu cepat, belum ditambah peran leader yang juga harus memikirkan team-nya. Pekerjaan bertambah, namun waktu yang kita miliki tentu saja tidak bisa ditambah. Sehari dalam kehidupan kita sebagai staff adalah 24 jam, dan ketika kita menjadi leader ternyata tidak diimbangi dengan penambahan jumlah jam dalam sehari, bukan? Sementara pekerjaan kita bertambah. Bukan hanya pekerjaan, namun juga tanggungjawab untuk mengembangkan team.
Lalu, bagaimana kita bisa memenuhi seluruh peran kita dengan waktu yang terbatas itu?
Pertama, jelas kita harus
mengubah cara kerja kita. Kalau dengan waktu yang sama dan pekerjaan serta tanggung jawab yang bertambah, namun kita masih mempertahankan cara kerja kita dulu sebelum menjadi leader, sudah bisa dipastikan kita tidak akan mampu menjalankan
peran kepemimpinan kita.
Jika dulu sebagai staff kita bekerja sesuai dengan pekerjaan yang “diberikan” kepada kita. Sekarang, sebagai seorang leader, kita harus “menciptakan” system kerja yang efektif dan efisien terhadap waktu yang kita miliki. Memangkas setiap aktifitas yang tidak perlu, meringkas dengan membuat system, mendelegasikan kepada team yang mampu, bekerja lebih cepat, berkomitmen terhadap rencana yang sudah dibuat, dan apapun itu, kita membutuhkan perubahan cara kerja. Dimulai dengan perubahan mindset, bahwa kita sudah bukan dalam takarannya lagi melakukan dengan cara sama seperti saat kita masih sebagai staff, bukan leader.
Cara-cara untuk
pengaturan waktu sebagai seorang leader akan dibahas lebih rinci pada tulisan-tulisan berikutnya. Kita akan mempelajarinya satu per satu. Pada bagian ini kita perlu menyadari “kesibukan” kita sebagai seorang leader tidak akan ada solusinya jika kita tidak bersedia mengubah cara kerja kita.
Kedua, sadari kerentanan terhadap interupsi. Saya menggunakan kata “rentan” yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya : mudah terkena penyakit; peka, mudah merasa. Interupsi, dalam bentuk apapun akan terasa tidak nyaman, apalagi ketika kita sedang fokus terhadap satu hal, lalu tiba-tiba teralihkan perhatian karena ada hal lain yang perlu perhatian kita juga. Memang tidak serta merta interupsi bisa disamakan artinya dengan penyakit, karena interupsi yang ini tidak bisa kita cegah, dan tidak bisa dihindari. Satu-satunya cara adalah dengan mengobati (baca : menghadapi).
Sama seperti penyakit, jika kita tidak menyadari jenis penyakit apa yang sedang menggerogoti tubuh kita, kita akan mengalami kesulitan untuk mengobatinya. Maka, interupsi pun perlu disadari kehadirannya.
Masalahnya adalah, banyak leader tidak menyadari bahwa perannya sebagai leader seiring dengan bertambahnya kuantitas (dan kualitas) interupsi pada pekerjaan kita. Kalau dulu, sebelum menjadi seorang leader, mungkin satu-satunya interupsi kita berasal dari atasan kita. Jika pekerjaan kita menyangkut banyak orang, maka setidaknya jika ada interupsi dari pihak luar pun sepengetahuan atasan kita. Ada filter interupsi dalam pekerjaan seorang staf, sehingga tidak semua (dan akhirnya tidak banyak) interupsi yang terjadi saat kita bekerja dulu.
Sekarang, sebagai seorang leader, interupsi itu muncul sedemikian gencarnya (jika kita tidak siap) dari atasan, team, departemen lain,
konsumen baik internal maupun eksternal, dsb. Jika kita tidak sadar dan tidak siap menghadapinya, kita akan kaget dan kebanyakan leader menjadi tertekan oleh karena interupsi-interupsi tersebut.
Saya bisa bayangkan, misalnya ketika kita sedang mengerjakan perencanaan, atau konsep development, lalu tiba-tiba salah satu team member kita datang untuk
meminta feedback. Bisa jadi dalam pandangan kita feedback yang dimintanya sebenarnya adalah perkara sepele yang tidak perlu persetujuan kita. Mungkin kita jadi geregetan, kenapa harus diinterupsi untuk hal yang bisa dikerjakan team kita sendiri. Tak jarang, kita menanggapi interupsi oleh team member kita sebagai “gangguan”, yang seharusnya bisa diselesaikan sendiri, tidak perlu menyita waktu kita yang berharga itu.
Tunggu dulu, apakah benar pemikiran yang demikian? Jangan-jangan hanya karena kita belum siap untuk menjadi leader, maka kita masih mau asyik dengan pekerjaan kita sendiri, sehingga menganggap interupsi team member adalah gangguan, mungkin berbeda jika interupsi berasal dari atasan kita. Atau, jangan-jangan kita hanya mengatasnamakan “perkara sepele yang bisa ditangani sendiri” padahal sebenarnya kita tidak rela memberikan waktu kita untuk mereka. Bukankah hal yang positif ketika ada interaksi yang baik dan intens antara
atasan dan team member? Padahal, bisa jadi memang untuk “perkara sepele” tersebut mereka tidak mampu, dan kita mengukurnya menggunakan kemampuan kita sendiri. Pertanyaan berikutnya akan muncul, apakah kita sudah mendevelop mereka sehingga punya kemampuan setara dengan kita?
Dalam salah satu bagian materi trainingnya tentang Learning to Manage, Reproducible Training Library menyebutkan bahwa : “...time spent with employees isn’t an interruption in your job; it IS your job”. Ini hal yang seringkali tidak disadari oleh para leader, pun juga oleh saya pada saat saya mulai mempelajarinya.
Kita akan merasa terganggu dengan adanya interupsi oleh team member kita karena kita tidak menganggapnya sebagai bagian dari pekerjaan kita. Sejujurnya jika itu yang terjadi, bisa dikatakan kita sebenarnya tidak siap menjadi seorang leader.
Posisi leader tidak hanya datang bersama dengan pengakuan atas kompetensi kita, kenaikan salary, penambahan tanggungjawab, namun juga serentetan interupsi yang datangnya pun tidak bisa kita ramalkan. Tanpa menyadari adanya pergeseran peran staf dan leader kita tidak akan pernah siap menjadi seorang leader, kita hanya akan menjadi lebih sibuk, namun belum mampu memenuhi ekspektasi sebagai leader.
Jika Anda saat ini sedang merasa amat sangat sibuk, disibukkan oleh hal-hal tidak jelas seperti yang Sinchan rasakan dalam lagunya, patutlah kita menanyakan ke diri sendiri, sudah siapkah kita menjadi seorang leader? Jika iya, kita siap, maka yang akan kita lakukan selanjutnya adalah menyambut kesibukan itu dengan nada riang, seriang Sinchan ketika mendendangkan theme song nya. Aku sibuk sekali....