Leadership
Perbedaan Menjadi Kekuatan
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Jul 25, 2018
Seorang teman yang hobby backpacker mengeluh tentang mahalnya biaya makan di Jakarta. Saat itu kami sedang makan di warung makan terdekat dengan kantor, yang notabene bukan restoran mahal. Makanan yang disajikan pun biasa saja, dengan harga standar.
Jika saya belum mengenal teman saya ini dengan baik, mungkin saya akan berpikir orang ini pelit, kikir, atau terlalu perhitungan. Untungnya saya kenal baik teman saya ini. Dia memang membuat pengaturan keuangan yang ketat karena hobby traveling dan jalan-jalannya. Dia bersedia mengurangi anggaran makan demi bisa traveling.
Di lain waktu, si teman ini bercerita dengan penuh semangatnya tentang sebuah tas yang baru saja dibelinya. Dengan heboh dan “sumringah” seakan mencapai
keberhasilan terbesar dalam kehidupannya, dia mengungkapkan kegembiraannya karena berhasil mendapatkan tas tersebut dengan harga diskon. Melihat luapan energi yang saya tangkap, saya memprediksi diskon yang diperolehnya cukup besar.
Namun ternyata setelah saya menanyakan berapa diskon yang didapat, dia bilang 10%, masih dengan energi positif yang luar biasa. Saya sempat bengong ketika dia menyebut angka tersebut. Buat saya, diskon 10% bukanlah hal yang luar biasa, ada banyak item belanja yang pada saat-saat tertentu bahkan dikenakan potongan harga lebih dari itu.
Kemudian teman saya ini melanjutkan ceritanya, mengapa dia begitu bahagia mendapatkan potongan harga sebesar 10% (saja) untuk tas yang baru dibelinya. Fakta berikutnya sempat membuat saya kembali tercengang. Harga tas gunung yang disebutnya bermerk terkenal itu hampir sama dengan anggaran makan saya selama 3 minggu, bahkan setelah mendapatkan potongan harga.
Bagaimana bisa, seorang yang mengeluh tentang mahalnya biaya makan itu dengan mudah bahkan senang hati membeli sebuah tas yang sebanding dengan 66 kali biaya makan yang dikeluhkannya. Ternyata bukan hanya tas saja, hampir semua perlengkapan travelingnya, mulai dari alat menyelam hingga perlengkapan naik gunung semua berkualitas tinggi dengan harga yang tentunya juga cukup tinggi, setidaknya bagi saya.
Mungkin saya tidak perlu terlalu heran, jika saja saya memahami bahwa kami memiliki prioritas yang berbeda. Saya tidak mempunyai minat yang cukup tinggi, apalagi prioritas, untuk hal-hal yang dia minati. Demikian juga, teman saya ini, yang tidak memprioritaskan makanan yang dikonsumsinya, setinggi prioritas saya terhadap kuliner.
Bagi saya, makanan seharga 15ribu sudah lumrah, karena di akhir pekan saya seringkali menghabiskan uang hingga ratusan ribu untuk beburu kuliner bersama suami. Yang, bagi teman saya, adalah sebuah pemborosan. Sama halnya dengan cara pandang saya terhadap pembelian tas semahal itu, bagi saya tentu saja pemborosan.
Perbedaan sudut pandang, minat dan prioritas dijumpai hampir di setiap pergaulan dan komunitas. Keragaman inilah yang menciptakan sinergi. Sebut saja foodcourt, aneka ragam makanan disajikan tanpa merasa tersaingi. Justru membuat daya tarik tersendiri bagi penikmat jajanan karena lebih banyak pilihan yang disajikan. Keragaman dalam keluarga juga membuat satu sama lain saling terikat, saling membutuhkan dan saling tergantung. Keragaman dalam team menciptakan warna kekuatan yang saling melengkapi. Tentu saja semua itu bisa tercipat jika satu sama lain yang saling berbeda itu pun saling memahami dan menerima.
Keragaman sudut pandang tidak bisa kita hindari, terlebih lagi tidak perlu kita takuti. Keragaman hanya perlu dimengerti dan diterima. Sinergi akan tercipta ketika keragaman pola pikir diubah menjadi energi dan kekuatan yang saling mewarnai.
Bagaimana caranya?
Pertama, kita, dan team kita, harus punya cara pandang yang sama tentang keberagaman.
Perlu diketahui bahwa perbedaan adalah wajar apa adanya, bahwa keunikan manusia itu memang ada, bahwa tidak akan pernah bisa kita menyamaratakan semuanya. Dengan pemikiran yang sama, akan lebih mudah mencapai tingkat berikutnya, pengertian dan saling menerima.
Kedua, pengertian dan penerimaan.
Ketiga, menciptakan budaya/culture.
Sebisa apapun kita saling menerima dan memahami bahkan telah dilandasi dengan mindset yang tepat sekalipun, akan ada saatnya konflik tidak terhindarkan. Untuk itulah kita perlu membangun respon keberagaman sebagai budaya yang tak terpisahkan dalam berinteraksi di team kita. Sebagai bentuk budaya, hal ini akan terus dipupuk dan dibiasakan. Bukan hanya respon sesaat.
Budaya penerimaan akan perbedaan akan membuahkan ketahanan uji ketika konflik terjadi. Dengan dasar
trust yang sama bahwa perbedaan itu sesuatu yang biasa terjadi maka setiap anggota team pun tidak perlu membawa jauh ke hati ketika perbedaan itu muncul. Bukan lagi perasaan yang menjadi tolak ukur perdebatan, namun fakta dan data yang menghasilkan diskusi konstruktif.
Sama seperti saya memahami teman saya yang mempunyai prioritas berbeda, sekalipun saya menganggapnya aneh, tapi itulah dia, saya menerimanya karena memang kami berbeda. Demikian juga yang dia rasakan terhadap saya,bukan lagi keanehan yang harus digunjingkan ketika ada yang bagi saya penting namun tidak baginya.
Perbedaan itu indah ketika saling mengerti, perbedaan itu berwarna ketika kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, perbedaan itu wajar hingga tak harus berbuahkan pembenaran di salah satu pihak dan dakwaan salah bagi pihak lain. Mari kita ciptakan team yang berwarna indah dengan memanfaatkan perbedaan tersebut.