Almarhum Bapak Michael D. Ruslim, mantan President Director dan CEO PT. Astra International Tbk, pernah berujar kepada para pemimpin di lingkungan Astra Group, “Decision making is a crucial part of good business.” Beliau kurang berkenan bila ada leader yang berkata, ”Tidak mengambil keputusan adalah juga sebuah keputusan.” “Sebagai leader, tugas kita adalah mengambil keputusan,” begitu kira-kira kalimat Bapak Michael di beberapa kesempatan. Uncertainties, risks, dan consequences adalah tiga hal yang harus bisa di manage oleh para leader dalam setiap pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. “Kita jangan takut dengan bayang-bayang sendiri,” nasihat Bapak Michael.
Apapun level kita dalam organisasi, dimanapun kita berada dalam organisasi, keterampilan memecahkan masalah dan mengambil keputusan adalah kompetensi kritikal yang harus dan mutlak dimiliki. Di beberapa perusahaan besar, kompetensi ini mengacu pada komponen “Analysis & Judgement”, dimana setiap insan diwajibkan memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data yang relevan, menggunakan data tersebut untuk analisa masalah secara efektif dan efisien, serta berani mengambil keputusan dengan mempertimbangkan semua risiko dan implikasinya.
Survei yang dilakukan oleh Bain & Company pada tahun 2008 terhadap 760 eksekutif perusahaan, menyimpulkan bahwa efektivitas keputusan dan hasil kinerja keuangan berhubungan lebih dari 95%. Semua level dalam organisasi kudu memiliki
keahlian mengambil keputusan. Level executive perusahaan akan berkecimpung dengan strategic decisions, misalnya arahan investasi tahun depan, akuisisi perusahaan, dan peluncuran produk baru. Di level manager akan fokus pada tactical decisions, misalnya bagaimana
strategi pemasaran, berapa orang yang akan direkrut, dan bagaimana divisi atau departemennya berkontribusi pada tujuan perusahaan. Sedangkan, di level staf lebih berkonsentrasi pada daily operational decisions, misalnya melayani pelanggan dengan baik, memproduksi produk berkualitas, proses yang lebih efisien, dan mencapai target yang diberikan kepadanya.
Namun sayangnya, banyak pemimpin takut dan ragu mengambil keputusan. “Most Meetings End Before Decisions Are Made. Managers spend 50% or more of their time in meetings, but Bain & Company research shows that two-thirds of meetings end before participants can make important decisions. Not surprisingly, 85% of executives are dissatisfied with the efficiency and effectiveness of their companies' meetings,” demikian tulis Bain & Company dalam laporan risetnya.
Menimbang begitu pentingnya sebuah keputusan, maka kunci dari kemampuan perusahaan untuk bersaing dan berhasil adalah konsistensi dari kualitas keputusan yang diambil. Setidaknya, sebuah perusahaan perlu menghasilkan keputusan yang lebih baik ketimbang pesaingnya. Apple Computer, misalnya, memutuskan untuk mengembangkan produk-produk berkualitas: Macbook, iPod, iPhone, dan iPad. Keputusan-keputusan tersebut amat baik, dan implementasi yang terkait dengan keputusan itu berhasil mendongkrak laba perusahaan serta, secara drastis, menaikkan nilai saham Apple.
Logika yang sama berlaku untuk keputusan-keputusan buruk. Keputusan macam ini, terutama jika dibuat oleh manajemen puncak, amat merugikan. Lihat, misalnya, kasus Walt Disney Company saat mereka mengangkat Michael Ovitz sebagai presiden perusahaan pada tahun 1995. Dalam setahun saja, Disney menyesali keputusannya sendiri, dan mengakhiri masa kerja Ovitz. Disney harus membayar pesangon sebesar $140 juta – sebuah kerugian signifikan sebagai akibat keputusan yang salah. Namun, kesulitannya belum selesai sampai di situ. Sekelompok pemegang saham menuntut Disney karena dianggap telah menyia-nyiakan uang untuk seseorang, yang kinerjanya, di mata anggota dewan direksi, mengecewakan. Tuntutan itu menghabiskan jutaan dolar untuk urusan hukum dan menyebabkan para pemimpin perusahaan, termasuk para direktur, harus keluar-masuk ruang pengadilan. Peristiwa ini mencoreng reputasi Disney.
Namun, nilai $140 juta tidak besar jika dibandingkan dengan kerugian-kerugian yang harus ditanggung perusahaan akibat kesalahan keputusan merger dan akuisisi. Tahun 2002, Hewlett-Packard mengadakan merger dengan Compaq. Hasilnya, pemegang saham HP kehilangan saham senilai $24 miliar – sekitar 37% dari total aset perusahaan. Dua tahun setelah kerugian itu, harga saham HP melorot dari S&P 500 (sementara, pesaingnya, Dell, sedang berkembang pesat), dan HP pun tidak mencapai satu pun kenaikan margin dalam bisnis komputernya.
Keputusan buruk juga dilakukan oleh pionir web portal: Yahoo. Perusahaan yang didirikan oleh Jerry Yang dan David Filo pada tahun 1994 mengalami penurunan pendapatan iklan sebesar 4% di tahun 2011, ditengah bisnis online dunia yang sedang berkembang. Sebut saja, Google, Facebook, dan Twitter malah menikmati kenaikan pendapatan iklan di tahun yang sama. Ini akibat serangkain keputusan salah yang dilakukan pemimpin Yahoo. Di tahun 2001-2007, CEO Yahoo pada saat itu, Terry Semel, aktif melakukan akuisisi dan pengembangan usaha. Misalnya, aplikasi jaringan sosial Yahoo! 360o yang diluncurkan tahun 2005, malah ditutup empat tahun berselang. Nasib serupa dialami Yahoo! Mash beta yang hanya berjalan setahun. Aksi sejenis gencar juga dilakukan oleh Carol Bartz, sebagai CEO pengganti Semel. Keputusan bersih-besih Bartz juga tidak mampu menolong perusahaan yang go public sejak tahun 1995 tersebut. Ujungnya, Yahoo memecat Bartz pada september 2011. Jerry Yang turun tangan menggantikan posisi Bartz. Namun, dia pun menggundurkan diri pada awal tahun 2012, digantikan oleh Scott Thompson, mantan boss PayPal. Keputusan-keputusan salah membuat bisnis Yahoo makin terpuruk.
Acapkali, kita membuat kesalahan saat memecahkan masalah dan mengambil keputusan karena kita tidak memiliki informasi yang diperlukan secara lengkap, dan juga proses berpikir yang kurang rasional. Selain itu, masa depan keputusan adalah sesuatu yang serba tidak pasti. Mudah bagi kita untuk menilai sebuah keputusan, setelah keputusan itu diambil. Namun, pembuat keputusan tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi, sampai keputusan tersebut membuahkan hasil. Hasilnya bisa baik, bisa juga buruk. Seringkali, kita bagaikan melayang-layang dalam gelap, berpegang hanya pada data yang tidak lengkap, konsultasi dari rekan-rekan dan para “ahli”, serta mengandalkan intuisi. Seberapa baikkah pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang dihasilkan di perusahaan Anda? Kemungkinan besar, tidak sempurna. Hal itu wajar, karena kesempurnaan adalah kemustahilan. Akan tetapi, kita dapat mendekati tingkat kesempurnaan jika kita memiliki metodologi yang kuat untuk
memecahkan masalah dan mengambil keputusan, dan mengetahui benar hambatan-hambatan dalam prosesnya. Hal-hal itulah yang ingin disampaikan dalam pelatihan.
Seperti juga tujuan bisnis yang ingin mengubah masukan (inputs) menjadi keluaran (outputs), pemecahan masalah dan pengambilan keputusan pun selayaknya dilihat sebagai sebuah proses. Pandangan ini akan memudahkan kita saat harus memberikan instruksi kepada peserta rapat perihal tahap-tahap yang akan dilalui, memastikan adanya kualitas yang seragam, dan pada gilirannya akan meningkatkan kualitas keputusan melalui serangkaian pengalaman serta pembelajaran.
Proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang logis dan telah teruji akan kita pelajari bersama. Teknik-teknik di sini bisa diterapkan di hampir semua situasi kompleks. Prosesnya mencakup metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi macam-macam kemungkinan, yang, nantinya, akan membantu kita mencapai tujuan. Harapannya, setelah pelatihan kita bisa meningkatkan kompetensi dalam hal “Analysis and Judgment”, yang merupakan kompetensi kritikal karyawan.