Leadership
Rasa Takut
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 11, 2019
Bagi Anda yang merasakan awal dimulainya revolusi teknologi, tentu tidak asing dengan istilah “handphone sejuta umat”. Ya, istilah yang digunakan untuk menyebut brand Nokia, brand ponsel nomor satu pada masanya. Keruntuhan raksasa ini mengejutkan banyak orang, dan memicu analisa tak terhitung dari para profesional berbagai bidang. "Kami tak melakukan kesalahan apa-apa, tapi bagaimana kami bisa kalah." Itu kata-kata terakhir dari CEO Nokia, Stephen Elop setelah mengumumkan perusahaan raksasa ponsel itu dibeli oleh Microsoft dengan harga 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 79 triliun pada 2014.
Awal kehancuran Nokia adalah karena kegagalan mengantisipasi dan tak mampu membendung derasnya serbuan ponsel Android, dan lebih memilih sistem operasi Windows Phone. Peristiwa ini dikuak oleh Chairman Nokia, Risto Siilasma, yang baru saja meluncurkan buku bertajuk 'Transforming Nokia: The power of paranoid optimism to lead through colossal change'. Dikutip dari detik, buku itu antara lain membahas kisah di balik layar meredupnya ponsel Nokia. Dalam buku tersebut, Siilasma menyalahkan CEO Nokia sebelumnya, Jorma Ollila, sebagai salah satu penyebab utama terpuruknya Nokia. Ia menulis bahwa Jorma orang yang temperamental dan menyebarkan ketakutan di Nokia. Dampaknya, diskusi terbuka mengenai isu-isu terbaru jadi tertutup, dan kabar buruk pun ikut ditutup – atau tepatnya ditutup-tutupi darinya.
Siilasma sudah meminta kepada Jorma agar Nokia mengikuti pasar yang sedang berkembang dengan menggunakan sistem operasi Android sejak tahun 2009, sebagai pengganti Symbian yang sudah uzur. Akan tetapi usulnya itu dimentahkan, terutama oleh Jorma. Pada tahun 2013, seiring jatuhnya bisnis ponsel Nokia, Risto yang sudah jadi chairman Nokia memberitahukan rencana untuk menjual divisi ponsel Nokia pada Microsoft. Tapi Jorma tidak terima dengan rencana itu. "Perbincangan di antara kami selalu sama polanya, aku berusaha ramah, dia meledak-ledak dan mengatakan aku akan merusak warisannya," ungkap Siilasma.
Jika bukan disuarakan oleh orang dalam Nokia, peran Jorma dalam keruntuhan Nokia mungkin masih menjadi kabar angin semata. Toh masih banyak yang menyalahkan Stephen Elop yang dianggap turut berdosa dalam runtuhnya Nokia, karena dialah orang yang mengeksekusi pemakaian Windows Phone. Belum ditambah cepatnya perkembangan teknologi yang turut merubah pasar, dan diantisipasi secara (terlalu) lambat oleh Nokia.
Apapun itu, kesaksian bahwa suatu organisasi disetir dalam rasa takut bukanlah memori indah untuk dibagikan. Hal yang sangat logis jika Siilasma mengungkap bahwa rasa takut pada atasan mengakibatkan anggota tim melakukan segala cara untuk menjaga si bos selalu dalam mood bagus.
Budaya takut bos yang mengubur rasa takut jika organisasi tidak berkembang dan mulai borok di sana-sini. Tentunya perlu dibedakan antara rasa takut dengan segan. Marah karena temperamental jauh berbeda dengan marah untuk alasan yang tepat – teguran keras atas pelanggaran adalah salah satu contoh tepatnya. Sama berbedanya dengan meledak karena reaktif, dengan memutuskan untuk memberi sanksi berat pada kesalahan fatal berulang. Anggota tim Anda akan bisa membedakan. Sayangnya, bagi kita sendiri yang menjalankan
peran sebagai pemimpin, seringkali sulit menyadari bahwa kita adalah seorang fear-based leader.
Karena itu satu hal yang perlu berulang-ulang kita ingatkan pada diri kita, adalah bahwa walaupun leading by fear akan memberikan hasil, namun itu bukan hasil yang kita harapkan. Leading by fear menghentikan
teamwork, menciptakan gangs di tempat kerja, membunuh kepercayaan diri tim dan membuat orang berhenti bersuara, terutama menyuarakan feedback untuk perbaikan kita.
“The boss inspires fear; the leader inspires enthusiasm”
- John C. Maxwell -