Self Improvement
Sikap dan Perilaku
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 14, 2019
Apa Itu Sikap?
Sikap adalah segala perbuatan dan tindakan yang berdasarkan pada pendirian dan keyakinan yang dimiliki. Sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap segala sesuatu, bisa berupa objek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sikap mempunyai tiga komponen utama, yaitu kesadaran, perasaan, dan perilaku.
Mari sedikit berandai-andai, tentang bawahan atau rekan kerja idaman. Tapi di sini kita akan mendaftar kriteria yang tidak kita inginkan, jadi silakan bayangkan kebalikan dari segala poin rekan kerja grade-A yang Anda inginkan. Sebutkan, jika perlu tuliskan untuk memudahkan. Setelah itu, coba hitung kriteria yang bisa digolongkan dalam Sikap, Perilaku atau Attitude. Berdasarkan pengalaman kami, ada lebih banyak golongan sikap (Attitude) ketimbang Kompetensi yang didaftarkan dalam kriteria.
Sikap dan Perilaku Lebih Utama
Saya – dan mungkin masih banyak individu lainnya hingga kini – dididik dalam lingkungan yang meyakini bahwa
kesuksesan tergantung pada bakat, kecakapan, kecerdasan, atau kemampuan. Selebihnya didukung keberuntungan dan kesempatan. Karena itu nilai ujian yang baik waktu itu masih dijadikan acuan seberapa berhasilnya saya saat itu dan kelak. Seiring itu, saya juga diajarkan untuk memiliki sikap dan berperilaku baik. Tapi tidak pernah ditekankan sebagai poin utama meraih kesuksesan. Aptitude comes first, attitude is complement. Padahal, pada sebagian lingkungan lainnya, sikap dan perilaku adalah hal yang sangat diutamakan daripada bakat.
Seiring bertambahnya usia dan pengalaman kerja, perlahan keyakinan keramat tersebut menemukan pencerahannya. Beberapa contoh peristiwa di tempat kerja menjadi pembuka mata. Saat nyaris tidak ada rekan yang merasa nyaman dan mau secara sukarela bekerjasama dengan
seorang leader tim marketing di pekerjaan terdahulu, saya mencoba melakukan sebaliknya. Saya berusaha menjadikan diri saya teman terbaiknya di sana. Jika biasanya ia datang di pagi dengan rute by pass ke meja kerjanya tanpa bertegur sapa, saya mencoba memulai habit baru sapaan pembuka hari ke semua orang – termasuk dia. Ini memaksanya membalas sapa dan senyum sebagai pembuka. Mengajaknya berkumpul bersama di jam makan siang, dengan gerutuan dan tatap galak memprotes dari beberapa rekan. Dan lainnya, yang intinya saya hanya ingin membuatnya terbiasa melakukan hal-hal positif bersama. “Supaya lebih akrab” cengir saya kala itu. Tapi tidak butuh satu tahun untuk saya menyadari alasan banyak orang menjaga jarak darinya.
Beliau adalah sosok yang tangguh dan memiliki semua pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk ada di jabatannya. Tapi feedback yang terus menerus dilontarkan orang-orang di lingkarannya – secara off the record di belakangnya – adalah perihal sikap dan perilakunya. Caranya memandang dan memperlakukan orang lain dengan remeh seolah mereka adalah asistennya, bagaimana ia
berkomunikasi dengan bossy dan tanpa empati, hingga keberaniannya untuk berdebat terbuka dalam tensi tinggi (istilah halus untuk berkelahi verbal) dengan tujuan win-lose dengan siapa saja (ya, dia yang harus win, others lose). Anggota tim yang rutin bongkar pasang menjadi catatan berulang manajemen. Ketidak akuran dengan banyak rekan yang akhirnya enggan menjadi tim support aktivitasnya, bahkan semaksimal mungkin menghindari interaksi langsung dengannya, menjadi racun yang membunuh perlahan.
Bagaimana mungkin kita dapat bekerja sendirian, tanpa dukungan pihak lain yang memberi hasil kerjanya sebagai satu rangkaian proses? Bagaimana mungkin kita berkoordinasi dengan pihak yang sudah enggan mendengarkan karena kerap sakit hati? Bagaimana bisa mencapai laju maksimal sesuai waktu tempuh yang ditargetkan, jika “onderdil” kendaraan bolak balik dipreteli dan diganti? Bagaimana pula caranya mempersiapkan dan menyelesaikan segala hal sendirian, karena tidak ada yang mau menjadi bala bantuan kecuali terpaksa dan tak punya pilihan? Bagaimana mungkin mendapatkan hasil maksimal dari orang-orang yang bekerja bersamanya setengah hati setengah benci? Segala efek itu sukses menggerogoti performanya secara kualitas dan kuantitas.
Tidak ada rekan yang memeluknya dengan wajah sedih saat ia akhirnya memilih mengundurkan diri, dan pamit di hari terakhirnya. Mungkin mereka memang orang-orang tangguh yang terbiasa melepas kepergian rekan, atau jangan-jangan masih belum bisa melupakan. Tidak ada yang berubah, dan tidak ada yang merasa kehilangan. Karirnya terpaksa berhenti setelah konsisten merosot di tiap kali peninjauan hasil kerja. Tidak ada yang bersaksi membelanya saat berbagai masalah kerja ditemukan.
Tidak selalu tentang kecakapan. Begitu banyak hal yang bisa diraih dengan kecakapan, namun harus dijalin menyatu agar kuat bertahan menggunakan sikap dan perilaku. Kita perlu selalu mengingat ini, agar tidak mengulangi kisah ironis yang sama. Jangan sampai sikap dan perilaku kita membanting kita jatuh, dari ketinggian yang dicapai kecakapan.
“Your Attitude, not your Aptitude, will determine Your Altitude.”
(“Sikap Anda, bukan bakat Anda, akan menentukan Kesuksesan Anda”) - Zig Ziglar