Self Improvement
Stres Kerja
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 10, 2019
Stres adalah kondisi mental yang dihadapi seseorang akibat adanya tekanan. Tekanan ini muncul dari kegagalan individu dalam memenuhi harapan, kebutuhan atau keinginannya. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri, atau dari luar.
Dikutip dari health.harvard, penelitian menunjukkan bahwa stres kronis berkontribusi terhadap tekanan darah tinggi, mendorong pembentukan endapan penyumbatan pembuluh darah, dan menyebabkan perubahan otak yang mungkin berkontribusi pada kecemasan, depresi, dan kecanduan. Penelitian lebih awal menunjukkan bahwa stres kronis juga dapat berkontribusi pada obesitas, baik melalui mekanisme langsung (menyebabkan orang makan lebih banyak) atau tidak langsung (mengurangi tidur dan berolahraga). Tambahan dari merdeka, stres bisa menyebabkan rambut rontok, juga bisa mempengaruhi kesehatan kulit dan membuat kita terlihat lebih tua, menyebabkan peradangan yang meningkatkan produksi sebum dan mempengaruhi jerawat di wajah, mempengaruhi tingkat gula dalam darah, mempengaruhi aliran darah dalam tubuh, dan akan memicu tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan diabetes. Karena itu stres juga dikenal dengan sebutan 'silent killer' atau pembunuh diam-diam.
Begitu mengerikannya dampak stres, hingga banyak orang hampir sama takutnya mendengar kata stres dengan kata kanker. Lucunya, “stres” sendiri terdengar familier di keseharian kita. Coba saja pasang telinga untuk menangkap kata stres dilontarkan orang-orang di sekitar kita sebagai gambaran kondisinya saat ini. Tapi apa sebenarnya stres itu? Menurut hellosehat, Stres adalah proses yang dirasakan dan direspon oleh manusia mengenai suatu kejadian. Respon tersebut bisa jadi hal yang ‘menantang’ atau ‘mencelakakan’. Karena itu stres sering disebut sebagai Stress Response.
Situasi yang menekan – apakah berasal dari lingkungan, seperti tenggat waktu, atau psikologis, seperti kekhawatiran yang terus-menerus tentang kegagalan – dapat memicu serangkaian hormon stres yang menghasilkan perubahan fisiologis. Kejadian yang membuat stres dapat membuat jantung berdebar, dan bernafas lebih cepat. Otot-otot tegang dan butiran-butiran keringat muncul. Kombinasi reaksi terhadap stres ini juga dikenal sebagai respons "fight or flight" (lawan atau lari) karena ia berkembang sebagai mekanisme bertahan hidup, memungkinkan manusia dan mamalia lain bereaksi cepat terhadap situasi yang mengancam jiwa.
Mengancam jiwa? Ya, setidaknya mengancam keselamatan. Saat Anda merasa stres dengan tenggat waktu yang sudah dekat, ada konsekuensi-konsekuensi buruk yang Anda bayangkan. Saat diminta mengkoordinir event besar yang harus memperhatikan setiap detil terkecil, Anda bisa menarik-narik rambut sambil bergumam “Bikin stres nih”. Pun saat ojek yang Anda tumpangi dipacu begitu cepat dan bergerak berani meliuk-liuk, ada bayangan akibat mengerikan muncul tanpa diundang di benak Anda. Bisa sampai membuat Anda berteriak “Jangan kebut-kebut Pak..!”. Saya sendiri bisa mendadak membeku karena takut setengah mati jika berada di ketinggian – walau hanya di balkon lantai dua. Kita merasa terancam. Tapi ini satu contoh unik pembanding. Seorang rekan saya begitu menyukai “keruwetan” tugas mengkoordinir event – semakin besar semakin semangat – sampai-sampai ia mendirikan Event Organizer. Rekan lainnya kecanduan adrenaline rush dan justru makin menggebu saat tenggat makin dekat. Yang menjerit-jerit ketakutan saat menumpang ojek ngebut, menjerit gembira saat naik roller coaster yang bahkan lebih kebut larinya. Dan saya sendiri pencinta flying fox hingga parasailing.
Jadi apa yang bisa kita simpulkan dari contoh-contoh dengan efek bertentangan di atas? Beberapa kondisi pemicu stres yang sama, namun respon yang berbeda. Jika satu kondisi – katakanlah tenggat waktu – bisa membuat orang-orang semakin bersemangat mengerahkan usaha terbaiknya, mengapa orang lain jadi stres karenanya? Jika memang tenggat waktu biang keroknya, kenapa tidak berlaku merata pada semua orang efeknya? Jangan-jangan letak masalahnya adalah pada kita. Saat ngebut di jalan kita anggap beresiko bahaya, namun ngebut di ketinggian (yang sesungguhnya juga berbahaya dan penuh resiko) kita anggap seru. Kita memandangnya sebagai dua hal yang berbeda. Kita menganggap resiko di satu hal sebagai tantangan seru pada hal lain. Ini menunjukkan bahwa terhadap stres, kita punya kendali. Kita lah yang memutuskan, untuk melihat sesuatu sebagai ancaman, atau sebagai tantangan
positif yang memacu. Jadi stres tidak selalu buruk, walaupun biasanya dibahas dalam konteks negatif, karena stres memiliki nilai positif ketika menjadi peluang saat menawarkan
potensi hasil. Sebagai contoh, banyak profesional memandang tekanan berupa beban kerja yang berat dan tenggat waktu yang mepet sebagai tantangan positif yang menaikkan mutu pekerjaan mereka dan kepuasan yang mereka dapatkan dari pekerjaan mereka.
How you think about stress is also one of those beliefs that can affect your health, happiness, and success. Stress is harmful ONLY when you believe it is.