Self Improvement
Thomas Alfa Edison
by
STUDiLMU Editor
Posted on
Feb 18, 2019
Ada satu peristiwa tentang Thomas Alfa Edison, sang penemu lampu pijar, yang unik dan selalu saya ingat. Yaitu tentang bagaimana ia mengajukan protes terhadap surat kabar yang memuat judul berita utama: “Setelah 9.955 kali gagal menemukan bola lampu pijar, Edison akhirnya berhasil menemukan lampu yang menyala”, setelah ia sukses menciptakan lampu pijar yang mampu bertahan menyala lebih dari 1000 jam. Ada yang mengatakan Thomas Alva Edison mencoba 999 kali. Baru pada kali ke-1000 dia berhasil. Bahkan di internet, banyak versi berseliweran, mulai dari angka 300, 700, 999, 1000, 2000, 3000, 5000, 10.000, bahkan 20.000. Tidak jelas mana yang benar. Namun satu kalimat yang banyak dikutip adalah respon Edison terhadap judul artikel itu. “I have not failed 10,000 times. I have not failed once. I have succeeded in proving that those 10,000 ways will not work. When I have eliminated the ways that will not work, I will find the way that will work.” (Saya bukan gagal 10.000 kali. Saya tidak gagal satu kali pun. Saya berhasil membuktikan bahwa ada 10.000 cara yang keliru. Ketika saya telah mengetahui cara-cara yang keliru, akhirnya saya akan menemukan sebuah cara yang benar).
Wow. Itu yang pertama terlintas dalam benak saya saat membaca berbagai angka yang disebut berbagai pihak itu. Berhenti di angka 300 saja, bagi banyak orang mungkin sudah menjadi pencapaian besar tersendiri. Boro-boro mencoba sampai ribuan kali. Berapa banyak dari kita yang merasa sudah cukup saat untuk ke tujuh belas kalinya kita gagal? Mau sebanyak apa lagi usaha dan waktu dibuang untuk mencoba? Lalu kita memutuskan untuk berhenti dan beralih pada hal lainnya. Tapi Edison tidak demikian. Ia memutuskan untuk terus mencoba, dan memandang ketidakberhasilannya tetap sebagai
keberhasilan. Keberhasilan menemukan sekian ribu alternatif yang tidak tepat. Bagai koleksi not-to-do yang bisa diwariskan sebagai pegangan bagi usaha selanjutnya. Betapa luar biasanya cara pikir sosok ini.
Mereka yang berhak menyandang sebutan climber memang bagai bocah kecil yang keras kepala – dalam artian positif. Sering kita menyaksikan begitu ngototnya seorang bocah melakukan hal yang terus menerus dilarang orangtuanya. Tidak jarang hingga akhirnya ia sendiri mengalami celaka karena kengototannya itu. Misalnya seorang bocah pemberani yang hobi mencoba berdiri di atas sadel sepedanya saat sedang meluncur. Keras kepala yang memancing jerit takut larangan ibunya, hingga berbagai koleksi luka hingga tulang patah, dan kerusakan sepeda dalam berbagai bentuk. Tapi bukannya kapok dan berhenti, ia justru belajar bahwa next time, perlu menempatkan kaki di posisi tertentu, dan menumpukan berat di titik tertentu agar bisa imbang lebih lama. Di masa depan ia menjadi atlet sepeda downhill ternama.
Ruginya adalah, kengototan positif yang kita miliki di masa kecil untuk mencapai sesuatu yang kita yakini akan membuahkan hasil, berkurang kadarnya seiring pertambahan usia. Lebih mudah bagi kita untuk ngotot atas sesuatu yang tidak membawa banyak manfaat, misalnya ngotot berdebat tentang tim sepakbola mana yang lebih baik. Jikapun kita sukses memenangkan perdebatan, tidak ada sumbangsihnya terhadap pergerakan kita ke depan. Lain cerita jika kita adalah si pemain dari klub sepakbola, yang ngotot berlatih kerasa agar dapat tampil prima dan membuktikan perkataan kita bahwa tim kita lah yang terbaik. Kengototan alias keras kepala seperti inilah yang perlu kita pertahankan. Keras kepala positif seperti yang didemonstrasikan Edison, bahwa yang ia lakukan akan
membawa hasil positif. Keras kepala untuk tetap dan terus mencoba, walaupun melakukan kesalahan yang menumpuk daftarnya. Keras kepala untuk terus bergerak, dantidak berhenti.
“Success seems to be connected with action. Successful people keep moving. They make mistakes, but the don’t quit.”
- Conrad Hilton-